Balance of Power dalam Ilmu Hubungan International

[Peringatan! – Artikel ini hanya gambaran singkat dan pengantar untuk para pelajar atau peminat Ilmu Hubungan International. Tulisan ini membahas “Balance of Power” dalam ilmu hubungan international. Dilarang keras untuk mensalin artikel website ini untuk keperluan pribadi (tugas, dan lain-lain) tanpa sepengetahuan penulis. Jika ada hal yang kurang dimengerti atau ingin ditanyakan silahkan tinggalkan pesan di sini]

Dalam Ilmu Hubungan International tentunya sudah akrab dengan istilah Balance of Power atau perimbangan kekuatan. Konsep ini merupakan konsep yang sudah lumayan dan masih digunakan untuk melihat dinamika politik international sekarang ini. Dalam tulisan ini saya tidak bermaksud untuk memberikan sejarah singkat tentang Balance of Power tapi hanya menuliskan apa dan bagaimana Balance of Power itu sendiri. Persaingan antar kedua atau lebih negara atau aliansi tentu dapat dianalisis dengan konsep ini.

Balance of Power atau perimbangan kekuatan ialah gagasan yang sangat sering digunakan dalam membahas isu-isu hubungan international. Balance of Power menggambarkan bagaimana negara-negara saling berinteraksi dan saling mengimbangi dalam hal kekuataan. Balance of Power pertama kali di perkenalkan oleh Ernst Haas pada tulisannya The Balance of Power: Prescription, Concept, or Propaganda dalam jurnal World Politics.

Dalam jurnal tersebut  Ernst Haas menyebutkan bahwa Balance of Power mempunyai banyak artian, yaitu:[1]

  1. Balance dalam artian distribution of power Haas menyebutkan bahwa para negarawan ketika mengatakan “balance of power has shifted” yang dimaksud ialah lawan dari negaranya telah meningkatkan kekuatannya.
  2. Balance dalam artian equilibirium ialah formulasi antar kekuatan eksternal dan international antar negara yang bersaing atau aliansi negara yang setara
  3. Balance dalam artian hegemony, yan­­g mengatakan bahwa negara-negara bukanlah mencari kesimbangan tapi hegemoni. Tidak ada keamanan yang nyata selain negara kuat yang mempunyai potensi sebagai musuh. Yang dimaksud keamanan ialah ketika kekuatan negara lain lebih kecil.
  4. Balance dalam artian stability and peace, para pemikir dunia ideal tidak bermaksud mengartikan Balance of Power sebgai metode untuk menciptakan kondisi yang stabil dan damai, tetapi stabil dan damai itu sendiri lah Balance of Power
  5. Balance dalam artian instability and war, hal ini merupakan kontras dari sebelumnya. Balance of Power ialah perang, sedangkan damai identic dengan menyelesaikan seluruh isu yang ada dengan moral, ekonomi, dan ciri etnografi.
  6. Balance dalam artian power politics. Kekuasaan ialah kekuasaan murni dari politik atau yang disebut dengan Real Politic, dan Balance of Power telah bergabung menjadi satu konsep, konsep tentang negara yang bertahan dalam kompetitifnya dunia international akan permintaan menggunakan kekuasaan tanpa hambatan oleh pertimbangan moral.
  7. Balance dalam artian universal law of history. Apa yang dimaksud dengan Balance of Power ialah manifistasi insting primitif dari self defence yang menggabungkannya dengan seluruh urusan manusia, bangsa dan international.
  8. Balance dalam artian system and guide to policy making, ialah hanya equilibrium dalam kekuatan dalam ikatan anggota keluarga negara-negara yang akan membatasi mereka, ketika mereka menjadi kuat dan akan memaksakan kehendaknya ke pihak lain.

Menurut H.C. Palmer dan N. D. Perkins dalam bukunya International Relations, Balance of Power ialah:

the balance of power assumes that through shifting alliances and countervailing pressures no one power or combination of powers will be allowed to grow so strong as to threaten the security of the rest.[2]

Perimbangan kekuatan mengasumsikan bahwa perubahan aliansi dan tekanan yang menyimbangkan agar tidak ada satu kekuatan atau gabungan kekuatan yang dibiarkan berkembang semakin kuat hingga mengancam keamanan yang lainnya

Palmer dan Perkins meyakini bahwa besarnya kekuatan suatu negara menjadikannya sebagai ancaman untuk negara lain. Oleh karena itu akibat dari merasa terancam dari kekuatan dari negara tersebut, negara yang terancam kemudian membuat aliansi dengan negara lain untuk menyeimbangkan kekuatannya.

Sejalan dengan pendapat itu Inis L. Claude dalam bukunya Power and International Relations mengatakan bahwa Balance of Power ialah:

when any state or bloc becomes, or threatens to become, inordinately powerful, other states should recognise this as a threat to their security and respond by taking equivalent measures, individually and jointly, to enhance their power.[3]

ketika suatu negara atau blok menjadi ancaman atau tidak biasanya berkukatan, negara lain harus menyadarinya sebagai ancaman terhadap keamanannya dan menanggapinya dengan cara menyeratakan kekuatan baik secara individu maupun gabungan.

Dari kedua pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa Balance of Power ialah usaha suatu negara untuk mengimbangi kekuatan negara lain yang mengancam keamananya. Ancaman dapat berasal dari suatu negara atau blok kekuatan yang terdiri dari gabungan-gabungan negara. Ketika terdapat negara yang telah membangun kekuatan baik secara sendiri maupun dengan membangun blok atau aliansi, maka hal tersebut akan menjadi ancaman keamanan bagi negara-negara lain. Negara yang terancam inilah kemudian akan membangun kekuatan untuk menjaga keamanan negaranya kemudian. Untuk menyimbangi kekuatan yang membuat terasa terancam maka negara terancam kemudian akan membangun kekuatannya sendiri atau bergabung dengan suatu blok demi menghilangkan ancaman atau mengamankan diri sendiri.

Keadaan Balance of Power yang nyata ialah ketika terdapat dua atau lebih negara dan adanya negara yang lebih lemah. Sejarah mencatat bahwa kondisi Balance of Power yang terjadi dalam catatan sejarah kuno yang paling lampau ialah Perang Peloponnesian. Dimana masa Yunani Kuno terdapat kondisi Bipolarity yaitu dua kutub kekuatan besar yakni Athena dan Sparta. Keduanya merupakan kekuatan besar dibandingkan kota-kota lain yang berada dalam daerah Yunani. Negara-negara yang lain bekerja sama dengan Athena atau Sparta untuk mendapatkan perlindungan dari kekuatan salah satunya.

Kemudian Yunani memutuskan untuk membangun suatu aliansi bersama yaitu Liga Hellenic dan memberikan kewenangan terhadap Athena dan Sparta sebagai pemimpin liga tersebut. Liga Hellenic ini kemudian dibentuk pada tahun 492-477 SM untuk menandingi serangan dari Persia. Setelah Yunani berhasil mengusir serangan Persia, terdapat konflik kecil dalam tubuh liga tersebut. Athena mengekspansi wilayahnya sehingga mengambil wilayah kota kecil. Karena merasa terancam kota-kota kecil ini kemudian bergabung dengan Sparta untuk melindungi keamanan wilayah mereka. Akhirnya Sparta dan kota-kota kecil yang merasa terancam oleh sifat ekspansif Athena membuat suatu aliansi yaitu Liga Peloponnesia. Athena pun membangun aliansi untuk melakukan ekspansi. Akhirnya dua aliansi yang didalamnya terdapat Athena dan Sparta kemudian saling bertempur.[4]

Balance of Power mempunyai tipe-tipe yaitu unipolarity, bipolarity, dan multipolarity. Unipolarity ialah kondisi dimana hanya satu negara yang mempunyai kekuatan besar dibandingkan dengan kekuatan lain. Para penliti percaya bahwa Amerika Serikat adalah negara superpower dan tidak ada yang dapat menyainginya. Oleh karena itu kondisi kekuatan dunia sekarang terpusatkan oleh satu negara saja.[5]

Bipolarity adalah kondisi dimana terjadi pemusatan kekuatan di dua negara atau dua blok (aliansi). Kondisi terjadi ketika masa Perang Dunia II dimana Amerika Serikat dan Uni Soviet diyakini berada pada puncak kekuatan dibandingkan negara-negara lainnya. Walaupun beberapa peniliti tetap tidak sepakat jika Uni Soviet dapat disetarakan dengan Amerika Serikat karena jika diliat dari perekonomiannya Uni Soviet sangat jauh perbedaan kekayaannya dengan Amerika Serikat. Tetapi Uni Soviet dapat memicu terjadinya Arms Race dan juga membangun aliansi-aliansi untuk saling mengimbangi.[6]

Multipolarity adalah kondisi setidaknya terdapat tiga negara atau blok (aliansi) yang mempunyai kekuatan yang sangat besar. Hal ini terjadi pada abad 19 dimana beberapa kerajaan atau negara saling beraliansi satu sama yang lain untuk melawan kerajaan atau kekaisaran yang lebih besar.[7]

T. V. Paul, dalam artikelnya Introduction: The Enduring Axioms of Balance of Power Theory and Their Contemporary Relevance mengatakan bahwa

The ultimate purpose of any balancing strategy is to reduce or match the capabilities of a powerful state or a threatening actor, the various means that states adopt, besides increasing their military strength or forming alliances.[8]

Tujuan utama dari segala strategi penyimbangan ialah untuk mengurangi kapabilitas pertarungan dari negara yang sangat kuat atau aktor yang mengancam, berbagai arti yang lain ialah negara mengadaptasi selain meningkatkan kemampuan militer atau membuat aliansi.

Ada juga beberapa strategi dari Balance of Power menurut T.V. Paul yang dapat dilhat dari bagaimana balance itu kemudian terbentuk. Hal tersebut dapat dibentuk dengan Hard Balancing, Soft Balancing, dan Asymmetric Balancing.[9] Hard Balancing ialah strategi yang dilakukan oleh suatu negara yang berada dalam kondisi persaingan yang intens bersama negara lain. Negara yang bersaing ini kemudian akan meningkatkan kemampuan militernya dan juga membuat aliansi yang formal untuk menyimbangi lawannya.[10]

Soft Balancing ialah pembangunan aliansi secara diam-diam. Pembangunan aliansi secara diam-diam ini terjadi akibat suatu negara secara umum membangun perjanjian atau kesepahaman militer terbatas kepada negara lain untuk mengantisipasi potensi terjadinya negara yang mengancam atau negara yang sedang meningkatkan kekuatannya. Soft balancing biasanya berdasarkan peningkatan persenjataan terbatas, latihan gabungan sementara, atau berkolaborasi dalam institusi regional atau global. Soft balancing  ini dapat berubah menjadi hard balancing ketika terjadi persaingan yang lebih intens dan negara yang mempunyai power lebih memulai jadi ancaman.[11]

Asymmetric Balancing ialah usaha negara untuk menyimbangkan atau memberikan ancaman tidak langsung oleh sub-negara, seperti kelompok teroris yang tidak mempunyai kemampuan untuk menantang angkatan perang suatu negara secara kapabilitas ataupun strategi. Asymmetric balancing juga dikatakan sebagai sisi balik koin yaitu usaha yang dilakukan oleh sub-negara dan yang mereka sponsori untuk menantang dan melemahkan negara yang mapan.

Daftar Pustaka:

[1] Ernst B. Haas, 1953. “The Balance of Power”. World Politics Vol. 5 No. 4. Cambridge: Cambridge University Press. Hal. 447-455

[2] Michael Sheehan, 1996. The Balance of Power. London: Routledge. Hal. 3

[3] Ibid.

[4] Robert Jackdon & George Sorensen, 2014. Pengantar Studi Hubungan International. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 116

[5] Martin Griffith & Terry O’ Gallaghan Op Cit. 13-14

[6] Ibid

[7] Ibid

[8] T.V. Paul, James J. Writz, and Michael Fortman, 2004. Balance of Power Theory and Practice in 21th Century. Stanford: Stanford University Press. Hal. 2-3

[9] Ibid. hal. 3

[10] Ibid.

[11] Ibid.

Neoliberalisme: Mengingat Kembali (1)

Original Posted: 14 Maret 2016 – Website HIMAHI FISIP UNHAS

 

Pada tahun 1930 silam paham Ekonomi Liberalisme akhirnya mengalami krisis. Fenomena ini menjadi cukup hebat karena liberalisme yang diagung-agungkan mampu mengatur dirinya sendiri (baca: self regulating market) akhirnya berada di titik krisis tertinggi dan mengakibatkan fenomena yang kemudian disebut Great Depression. Menurut para ahli Great Depression ini terjadi akibat tidak adanya sistem penilaian/pengaturan yang komprehensif, dan akhirnya lahirlah ilmu Macro-Ekonomi yang diperuntukkan membaca seluruh sistem ekonomi yang berjalan dalam suatu Negara secara komprehensif. Tidak hanya itu, di tingkat politik global dampaknya bahkan mencapai Perang Dunia II.

Selagi berlangsungnya Perang Dunia II di tahun 1944, Negara-negara yang berada dipihak Aliansi (terutama Amerika Serikat dan Inggris) membentuk Bretton Woods sebuah rejim perekonomian internasional yang dibentuk untuk menghindari Depresi yang terjadi setelah Perang Dunia (Ritzer, 2011). John Maynard Keyness menjadi salah satu pemikirnya. Bretton Woods ini menjadi sebuah rejim perekonomian dengan narasi bahwa nilai mata uang yang dikeluarkan oleh suatu Negara harus sesuai dengan cadangan emas yang ada di dalam Negara tersebut. Tidak hanya itu, untuk membantu Negara-negara korban peperangan maka dibentuk juga institusi-institusi seperti International Monetary Fund (IMF), International Bank for Development (IDB), dan General Agreement of Tariff and Trade (GATT).

Tidak bertahan lama, kurang dari 4 dekade sistem Bretton Woods ini akhirnya runtuh. Dengan dikeluarkannya kebijakan President Amerika Serikat saat itu, Richard Nixon, tepatnya tanggal 15 Agustus 1971 bahwa kuantitas emas tidak lagi bisa dijadikan acuan nilai dari suatu mata uang (Ritzer, 2011). Hal tersebut diakibatkan banyaknya pengeluaran uang Amerika Serikat untuk membiayai perangnya di Vietnam, dan momentum inilah yang kemudian lebih dikenal dengan The End of Bretton Woods System.

Pada tahun 1947 Friedrich August von Hayek membentuk Mount Pelerin Society di Swiss (Stegger & Roy, 2010). Perkumpulan ini dibentuk untuk membicarakan kebangkitan kembali perekonomian liberal setelah runtuh pada saat Great Depression, dan digantikan oleh Bretton Woods dimana pemerintah mempunyai peranan untuk mengupayakan Wellfare State (Negara Kesejahteraan), konsep ini digagas oleh John M. Keyness (Baswir, 2009). Hal inilah yang dinilai sebagai pembatasan terhadap individu karena peranan Negara dalam aktifitas perekomonian yang terlalu jauh, padahal Negara sebenarnya hanya perlu membuat dan memastikan atmosphere yang baik dan aman bagi individu-individu dalam melakukan aktifitas perekonomian.

Milton Friedman murid von Hayek beranggapan bahwa kehidupan masyarakat akan berlangsung lebih baik jika tanpa campur tangan apapun dari pemerintah, Friedman menyatakan bahwa tingkat pengangguran masyarakat tidak seharusnya diatasi dengan campur tangan pemerintah, melainkan diserahkan saja kepada mekanisme pasar kerja yang bebas (Darmaningtyas, Subkhan, & Panimbang, 2014). Milton Friedman mengajar di Universitas Chicago pada tahun 1946, dan akhirnya Univeristas Chicago menjadi pusat perkembangan Neoliberalisme, dan lulusannya yang mendalami neoliberalisme kemudian disebut Chicago Boys (Ritzer, 2011). Dalam literatur-literatur Indonesia sering kali penulis menggunakan istilah ‘Mazhab Chicago’ yang mengasosiasikannya dengan pemikiran neoliberalisme ala Milton Friedman. Dominasi pemikiran neoliberalisme me”roket” sejak pemberian hadiah nobel kepada Hayek di tahun 1974 dan Friedman pada tahun 1976. Penerimaan penghargaan ini kemudian membawa semacam aura superioritas akademik bagi gagasan-gagasan neoliberalisme (Hiariej, 2012).

William Easterly juga mengemukakan pendapat terhadap peran pemerintah dalam perekonomian. Setidaknya ada lima anggapan bahwa peran pemerintah adalah langkah yang buruk dibandingkan dengan peran individu. Pertama, pemerintah minim akan pengetahuan sedangkan individu mencoba untuk megumpulkan pengetahuan dan bahkan belajar dari kegagalan. Kedua, pemerintah sangat lambat dalam menerima umpan balik dari pasar sedangkan individu dapat meresponnya dengan cepat. Ketiga, individu tidak segan untuk memakai kekayaan alam. Keempat, individu mempunyai keunggulan dalam meningkatkan pasar dan korposasinya demi keuntungan. Kelima pemerintah tidak berani dalam mengambil resiko yang besar sedangkan individu berani untuk mengambil resiko tersebut (Ritzer, 2011).

Pada tahun 1979 Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher terpilih dan di Amerika Serikat Ronald Reagan terpilih sebagai Presiden pada tahun 1981. Dua sosok ini menjadi Role Model praksis bagi pemikiran neoliberalisme. Thatcher yang terkenal dengan There is No Alternative (TINA) melihat pada saat itu Inggris memasuki masa krisis dan untuk menghemat serta mengefisiensikan anggaran maka pemerintah harus menjual aset-asetnya ke pihak swasta (baca: Privatisasi) (Stegger & Roy, 2010). Sedangkan Reagan mempunyai gagasan supply-side economics, trickle down economics, atau yang lebih dikenal dengan trickle down effect, yakni pemotongan pajak terhadap korporasi. Pemotongan pajak tersebut kemudian menjadi insentif agar korporasi-korporasi memakai keuntungan dari pemotongan tersebut untuk menginvestasikannya kembali agar mendapatkan keuntungan yang lebih. Dari keuntungan yang lebih itu pemerintah berharao agar korporasi dapat memberikan bantuan kepada masyarakat sekitar dan menggantikan peran pemerintah.

Akhirnya pada tahun 1989 diperkenalkanlah Washington Consensus oleh John Williamson. Yaitu:

  1. A guarantee of fiscal discipline, and a curb to budget deficit
  2. A reduction of public expenditure, particularly in the military and public administration
  3. Tax reform, aiming at the creation of a system with a broad base and with effective enforcement
  4. Financial liberalization, with interest rates determined by the market
  5. Competitive exchange rates, to assist export-led growth
  6. Trade liberalization, coupled with the abolition of import licensing and a reduction of tariffs
  7. Promotion of foreign direct investment
  8. Privatization of state enterprises, leading to efficientmanagement and improved performance
  9. Deregulation of the economy
  10. Protection of property rights(Stegger & Roy, 2010)

Lembaga-lembaga seperti World Bank, International Monetary Fund, World Trade Organization, & Asian Development Bank kemudian menerepkan hal ini sebagai syarat jika ingin melakukan peminjaman. Hal inilah yang disebut sebagai There is No Free Lunch (tidak ada makan siang yang cuma-Cuma). Instrument-isntrument yang digunakan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional ini berupa Structural Adjustment Program, Letter of Intent, dan Perjanjian-perjanjian perdagangan WTO yang apabila tidak ditepati, Negara akan mendapatkan sanksinya.

Selanjutnya

Neoliberalisme: Melembagakannya (2)

 

Daftar Pustaka

Ritzer, G. (2011). Globalization: The Essentioal. Oxford: Wiley-Blackwell.

Stegger, M. D., & Roy, R. K. (2010). Neoliberalism: A Very Short Introduction. Oxford: Oxfor University Press.

Baswir, R. (2009). Bahaya Neoliberalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Darmaningtyas, Subkhan, E., & Panimbang, F. (2014). Melawan Liberalisasi Pendidikan. Malang: Madani.

Hiariej, E. (2012). Globalisasi, Kapitalisme, dan Perlawanan. Yogyakarta: Institute of International Studies.

 

Book Review: Melawan Liberalisasi Pendidikan

Judul Buku      : Melawan Liberalisme Pendidikan
Penulis             : Darmaningtyas, Edi Subkhan, Fahmi Panimbang
Penerbit          : Madani
Tahun               : 2014
Jumlah Hal.    : xxv+342

5171677_1d5ed290-7044-4523-a2ec-1c9c5e886d38

Liberlisasi pendidikan di Indonesia telah berlangsung lama. Setelah tumbangnya rezim Soeharto babak baru pendidikan di Indonesia dimulai dengan dikeluarkannya PP No. 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negara sebagai Badan Hukum oleh pemerintahan transisi yang saat itu dipimpin BJ Habibie sebagai Presiden. Kemudian dikeluarkan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur seluruh pendidikan di Indonesia dari Pendidikan Dasar, Menengah, Atas, dan Tinggi. Pasal 53 UU No. 20 Tahun 2003 mengatur tentang pentingnya pembentukan badan hukum pendidikan utuk penyelanggara pendidikan dari pendidikan dasar hingga pendidikan perguruan tinggi, yang kemudian berdasarkan pasal tersebut maka  pemerintah membuat RUU Badan Hukum Pendidikan.

RUU BHP sempat timbul tenggelam pada tahun 2003, 2005 dan akhirnya disahkan pada tahun 2008. Pada saat disahkannya kritik dari public pun datang, kritik tersebut hadir karena menganggap UU BHP menekankan terkait tata kelola badan hukum pendidikan layaknya korporasi, yang misi utamanya mencari untung, kerja yang lebih efisien dan produktif sehingga dapat memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya untuk melakukan investasi yang lebih besar lagi. Privatisasi yang artinya penyerahan pelayanan dari public ke swasta dan Liberalisasi yang menawarkan pelayanan public ke pasar bebas (mekanisme pasar) dengan sedikit atau bahkan tidak adanya campur tangan dari pemerintah (peran pemerintah hanya sebagai regulator) [1] menjadi nyata di tanah Indonesia ini.

Dengan tekanan massa yang sangat luas dari berbagai kelompok maka pada 31 Maret 2010 dibatalkan oleh Mahakama Konstitusi. Tetapi gagasan dan spirit UU BHP tidak berhenti sampai disitu, kemudian dikeluarkan lagi UU yang serupa yaitu UU No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi.

Pada masa transisi gerak-gerak kapitalisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan menjadi nyata karena gagasan tersebut juga dipakai oleh aktifis-aktifis perjuangan reformasi dengan menumpang pada pro-demokrasi yang menumbuhkan otonomi, demokrasi, kemandirian lembaga-lembaga pendidikan sehingga masyarakat melihatnya sebagai hal yang baik. Tetapi dampak negative tidak pernah disebutkan oleh orang yang memperjuangkan hal ini.

Peran lembaga-lembaga keuangan International pada masa dan isu ini sangatlah penting, World Trade Organization (WTO), Bank Dunia, Dan International Monetary Fund (IMF) memanfaatkan momentum penjadwalan ulang pembayaran utang luar negeri yang hanya disepakati jika yang berangkutan menerima kebijakan Structural Adjustment  Program (SAP). SAP Mencakup kebijakan-kebijakan Ekonomi Makro dan belakangan juga mencakup kebijakan sosial, privatisasi, kebijakan moneter, jukum usaha, dan pengelolaannya.

Melihat dari Prespektif Ekonomi-Politik, globalisasi dianggap mendatangkan serentak keuntungan dan juga malapetaka. Globalisasi yang mengaburkan batas-batas negara sehingga melakukan usaha untuk mencari keuntungan tidak sulit lagi membuat Multi National Corporation (MNC) dapat mencari untung dibelahan dunia mana saja dan hal ini didukung oleh WTO, Bank Dunia, dan IMF. Globalisasi dari atas ialah sebutan untuk negara-negara maju yang didorong oleh kepentingan kapitalisme, dan globalisasi dari bawah sebutan untuk solidaritas negara-negara sedang berkembang dan belum berkembang yang di marjinalkan oleh kapitalisme.

Neoliberalisme mempunyai prinsip membiarkan pasar bekerja dengan mekanismenya sendiri dengan Invisible Hand yang secara otomatis mengoreksi masalah pasar, dan smuanya itu dapat dijamin hanya daam kerangka negara demokratis. Dalam liberalisme klasik Adam Smith menekankan pentinnya individu agar mempunyai hak akan sesuatu dan tetap memberi ruang tata keadalian dan individu tetap berpartisipasi dalam pembangunan suatu bangsa. Oleh karena itu Adam Smith menulis dengan judul “… the Wealth Of Nation”  tentang kemakmuran suatu bangsa bukan “…the Wealth of Individual”.

Dengan UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Oraganization dan kemudian dilanjutkannnya penandatanganan General Agreement of Tariff and Services (GATS) pada tahun 2005 artinya Indonesia sepakat akan aturan-aturan yang kemudian dikeluarkan WTO. Dalam GATS juga termasuk sector jasa pendidikan, dengan argumentasi bahwa pendidikan termasuk kedalam kategori industry yang mengubah benda fisik, keadaan manusia, dan benda simbolikm dimana kegiatan pokoknya adalah mentransformasi orang yang tidak berpengatahuan dan keterampilan manjadi memiliki pengtahuan dan keterampilan.

Praktek-praktek neoliberalisme dalam pendidikan semakin nyata dengan adanya pertama swastanisasi, bahwa setiap univesitas (Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Institute Teknik Bandung) mempunyai asas, sifat, dan tujuan universitas yang berbeda-beda. Organisasi dan kepemimpinan (Unsur manajemen terkait Fakultas, UPT, Bidang, dan lain-lain) dapat ditentukan oleh Universitas itu sendiri. Pembiyaan Pendidikan juga diatur secara mandiri oleh Universitas. Unit Usaha dan Komersialisasi Kampus, kampus diberikan kewenanan untuk membuat unit usaha yang menjadi sumber pendapatan Universitas. Outsourcing dan karyawan kebijakan menggunakan Outsourcing yang melanggar UU Ketanagakerjaan No. 13 tahun 2003 pasal 59, di atur kembali untuk memudahkan kerja-kerja Universitas, pegangkatan karyawan yang harus melalui seleksi Pegawai Negeri Sipil juga di tidak diberlakukan sehingga Universitas nantinya dapat merekrut dengan tahap-tahap yang disepakati.

Kedua praktek dilapangan, biaya kuliah yang semakin mahal, masing-masing universitas mempunyai kewenangan untuk menentukan berapa jalur masuk dan berapa uang pangkal untuk masuk ke universitas tersebut. UI mempunyai 6 jalur masuk, UGM 3 jalur, ITB 3 Jalur, ITS 2 jalur, dan biaya masuknya pun beragam (pangkal) dari 3 juta, 45 jutam hingga tak terbatas (UGM). Membuka Usaha Komersial, Unit Usahapun dibuat oleh Universitas-universitas yang telah duluan memangku status PTN-BH misal, UI dengan PT. Daya Makara yang bergeran dibidang konsultasi dan kontraktor, IPB  dengan PT. Bogor Life Science and Technology, PT. Indah Pesona Bogor, dan PT. Prima Kelola Agribisnis. UGM yang mempunyai unit usaha antara lain: Radio Swaragama, Pos Waralaba, Dan Gama Tchno dan masih banyak lagi. Obsesi Menggolobal, sudah tidak asingpula dengan istilah Go International atau World Class University. Pemerintah tidak sadar bahwa pencitaraan sebagai World Class University adalah bagian dari bisnis kapitalisme global saja untuk menjaul jasa pendidikan negara maju, mengingat ukuran-ukuran bertaraf international itu tidak pernah jelas. Universitas berlomba-lomba untuk mendapat kan gelar World Class University yang juga artinya mempunyai standar International, padahal standar international terbukti tidak menjamin keberlangsungan institusi tersebut, terbukti dengan siapa yang bakal kira Lehman Brothers dan General Motor dua perusahaan yang juga mempresentasikan standar international bangkrut.

Ketiga Rintisan Sekolah Berataf International. Sekolah Berataraf Interantional juga bentuk lepas tangannya pemerintahan. SBI yang kemudian mempunyai struktur organisasi dan kepemimpinan, kurikulum, pengelolaan keuangan yang mandiri adalah bentuk pelapasan tanggung jawab pemerintah terkait bidang pendidikan.

Keempat ISO 9001:2000. Sebuah system manajemen mutu yang dalam nalar industry, yakni untuk kepuasan pelanggan. Hal ini belum tentu sesuai dengan hakikat mutu atau kualitas dalam terminology dunia pendidikan yang lebih substansial dan kompleke menyentuh materi yang diberikan pada siswa, konteks sosial, budaya, psikologis, dan bahkan politis-ideologis. Mutu dalam pendidikan berbbicara mengenai pembentukan karakter murid, pemahaman akan kehidupan, relasi sosial, dan pandangan dunianya selain menguasai mata pelajaran itu sendiri.

Darmaningtyas, dkk menulis buku ini tidak hanya dengan gaya deskrptif-analisis. Dalam buku Melawan Liberalisme Pendidikan juga dituliskan bagaimana konsep pendidikan, globalisasi, dan neoliberalisme sehingga para pembaca yang kurang familiar dengan konsep ini, dengan mudah dapat mengerti konsep-konsep tersebut.

Dalam buku Melawan Liberalisasi Pendidikan, Penulis tidak hanya membahas Pendidikan Tinggi saja, walaupun Pendidikan Tinggi menjadi sorotan utama dalam Buku ini, tetapi juga membahas dari pendidikan dasar, sehingga pembahasan liberalisasi pendidikan dapat dilihat lebih komprehensif. Pembahasan juga dilakukan dengan melihat prespektif global (pengaruh global terhadap kebijakan dalam negeri)

Penulis juga memaparkan banyak data terkait bagaimana sejarah pendidikan di Indonesia mulai dari masa Reforamasi hingga buku ini diterbitkan. Pemaparan data sangatlah penting dalam menganalisa suatu isu yang ingin diteliti. Data-data terkait Biaya Pendidikan Universitas-universitas,  Peringkat Universitas di Indonesia, Beragam Besaran pungutan Uang Masuk Sekolah, dan masih banyaklainnya tersaji dalam bentuk table sehingga tidak hanya penulis, pembaca pun juga bisa menganalisa dengan memakai data-data tersebut.

Buku ini wajib dibaca oleh para pemerhati pendidikan yang ada di diseluruh Indonesia ketika ingin memperjuangkan pendidikan sebagai hak dasar warga negara. Sejak terbitnya UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, praktek-praktek liberalisasi pendidikan menjadi sangat nyata. Biaya untuk menyelesaikan study S1 sudah hampir berjuta-juta dan juga praktek-praktek untuk memungut biaya dari sumber lainnya selain kegiatan akademik.

[1]Darmanigtyas, dkk 2014. Melawan Liberalisasi Pendidikan, Malang, Madani, hal. viii