Peraturan, Cadangan, dan Tanah (Freeport Vs Indonesia)

[Peringatan! – Dilarang keras untuk mensalin artikel website ini untuk keperluan pribadi (tugas, dan lain-lain) tanpa sepengetahuan penulis. Jika ada hal yang kurang dimengerti atau ingin ditanyakan silahkan tinggalkan pesan di sini]

Permasalahan PT. Freeport Indonesia (selanjutnya disebut Freeport) sejak 2015 sangat sering terdengar, belum lagi dua pekan terakhir dukungan-dukungan berupa poster, tulisan, dan video ramai di media sosial mendukung kebijakan pemerintah sebagai bentuk berdaulatnya negara. Hal ini cukup mengingatkan saya akan final AFF terakhir, saya bukan peminat sepak bola tapi ramai-ramai pembicaraan dengan semangat satu bangsa sangat kental saya liat di media sosial, berita, dan juga kehidupan sehari-hari. Tapi sayangnya dua hal ini berbeda, permasalahan ini tidak hanya melibatkan Indonesia dan Freeport, ini juga menyangkut tanah Papua.

Peraturan dan Cadangan

Sejak akhir dekade 1960an, sejarah Indonesia agak sulit dipisahkan dari Freeport. Dalam dekade ini, Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto mulai bangkit, dan UU No. 1 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan ditetapkan. Pada tahun 1967, perjanjian Kontrak Karya (KK) ditanda tangani oleh kedua pihak antar Indonesia dan Pemerintah. Dalam KK disebutkan bahwa Freeport diberikan kewenangan untuk mengelola 1.000 hektar untuk dikelola. Perjanjian ini kemudian dapat diperpanjang sebanyak dua kali, dan bersifat Lex Specialis (ketentuan khusus yang mengesampingkan ketentuan umum).

Tahun 2009 pemerintah mengeluarkan UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba. Dalam UU ini perusahaan penambang tidak dapat lagi mengekspor bijih atau konsentrat, oleh karena itu seluruh hasil tambang harus dikelola dulu menjadi katoda melalui smelting dan refining. Lima tahun kemudian keluar PP No. 77 tahun 2014, dalam pasal 7c mengatur bahwa saham yang boleh dimiliki oleh pihak asing dalam kegiatan eksplorasi ialah 75% dan produksi sebanyak 70% dan mengajukan perpanjangan dua tahun sebelum berakhir. Setahun kemudian mengingat KK Freeport akan berakhir pemerintah mengajukan lima syarat untuk perpanjangan pertama, melakukan perpanjangan dua tahun sebelum berakhir. Kedua, meningkatkan muatan lokal (tanggung jawab CSR diwilayah yang berdampak). Ketiga, melakukan divestasi sebanyak 30% secara bertahap. Keempat, meningkatkan royalti tembaga dari 0,5% menjadi 45, emas dari 1% menjadi 3,75%, dan perak 3,25%. Dan terakhir, membangun smelter sebelum tahun 2021.

Tidak berhenti dengan itu, pemerintah mengeluarkan PP No.1 tahun 2017 yang mengatur Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) lebih lanjut. IPUK mewajibkan divestasi sebanyak 51% secara bertahap, permohonan perpanjangan paling cepat 5 tahun sebelum berakhir waktu izin usaha, pemerintah mengatur harga patokan penjualan minerba, mewajibkan pemegang KK diganti menjadi IUPK, dan pemegang KK tidak lagi mempunyai izin mengekspor konsentrat yang akan diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

Kebijakan ini sentak membuat hubungan pemerintah dan Freeport memanas. Beberapa kali melakukan tarik ulur, Freeport menginginkan adanya jaminan akan diperpanjangnya KK dan membangun smelter, sedangkan pemerintah menginginkan Freeport mengikuti PP No. 1 tahun 2017. Sebelumnya, pemurnian bijih dan konsentrat Freeport dilakukan di dua tempat yakni + 30% PT. Smelting di Gresik dan + 60% Atlantic Cooper di Spanyol (data 2002). Ketidaksepakatan ini kemudian disampaikan oleh Freeport langsung oleh Presiden dan CEO Richard C Adkerson dalam konferensi Pers di Jakarta dan akan mengajukan Indonesia dan Arbitrase Internasional, Investor-state Dispute Settlement (ISDS). Freeport akan menggunakan ISDS tempat dimana perusahaan swasta menuntut pemerintah yang melakukan pelanggaran dengan cara menantang hukum, regulasi, atau peraturan administratif yang dikeluarkan. Materi yang rencanakan digugat ialah UU Minerba tahun 2009 dan status KK yang dipegang.

Membangun smelter memerlukan investasi yang cukup besar, jika Freeport harus membangun smelter untuk mengelola seluruh hasil tambang maka memerlukan USD 2,3 juta (setara dengan Rp.31 triliun). Sementara Freeport harus mengubah cara berproduksi hasil tambangnya dari Open Pit menjadi Underground Mining yang memerlukan dana USD 81 milyar (setara Rp. 1.215 triliun). Kondisi mengalihkan cara berproduksi dan ketidakpastian keberlanjutan Freeport membuat investor sulit untuk mengambil keputusan karena keamanan investasi yang masih terombang-ambing.

Menurut Freeport, KK mempunyai status Les Spesialis derogat Lex Generalis sehingga memaksakan mengikuti UU dan PP adalah sebuah pelanggaran atas kesepakatan. Namun beberapa ahli mengatakan Les Spesialis hanya berlaku dengan peraturan setingkat, sedangkan KK yang dikantongi oleh Freeport tidak dapat dikatakan setara dengan UU hanya karena menyerupai proses pembuatan UU (melibatkan kementerian terkait dan persetujuan DPR-RI).

Kementerian ESDM mengatakan bahwa cadangan emas yang dikelola oleh Freeport masih sekitar 1.800 ton. Kontribusi pemasukan mineral dan tambang antara Newmont dan Freeport terbilang cukup kurang dibandingkan dengan BUMN. Kondisi Indonesia pada saat melakukan perjanjian kerja sama tahun 1967 jauh berbeda dengan sekarang. Walaupun kondisi yang berbeda, Indonesia harus tetap mencari investor asing untuk mengelola tambang tersebut.

Tanah tempat Freeport berada

Cukup untuk membicarakan perseteruan Indonesia dan Freeport. Setelah berhasil merebut Papua dari Belanda tahun 1963, Papua tidak langsung resmi bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Papua baru resmi masuk ke dalam NKRI pada tahun 1969, itu pun setelah melalui dinamika yang panjang. Artinya sebelum resmi masuk ke dalam NKRI, pemerintah terlebih dahulu menyepakati KK. Akhirnya, cadangan Gresberg, tanah suku Amungme dan beberapa suku lain secara paksa direbut. Benar, Freeport telah merekrut dan mengganti rugi tanah yang direbut, tapi satu yang jelas hal tersebut tidak akan pernah cukup. Tidak adanya perjanjian dari awal dengan penduduk setempat membuat hal ini sulit untuk di taksir, belum lagi permasalahan tanah adat tidak pernah selesai dengan angka-angka.

Pemerintahan Provinsi Papua telah meminta saham untuk pemerintah daerah, tapi mengetahui keterbatasan, sulit untuk mendapatkan saham pertambangan tersebut. Namun mengadakan smelter di Papua tidaklah sesulit yang diumbar-umbar oleh Freeport. Alasan memilih bentuk negara kesatuan tidak terlepas dari cita-cita ingin memeratakan perekonomian dan pertumbuhan di Indonesia, namun pembangunan smelter yang berkembang baik pemerintah dan Freeport hanya di wilayah Gresik saja. Hal tersebut karena kedekatan Freeport dan Mitsubishi Corp. yang memang telah bersama-sama mengelola PT. Smelting. Seharusnya perencanaan pembangunan smelter dilaksanakan di Papua, karena akan membangun industri, dan dari industri itu diharapkan meningkatkan baik lapangan kerja maupun pendapatan daerah. Jika smelter dibangun di Papua, maka hasil ikutan tambang utama dari Gresberg seperti gypsum (bahan semen), copper slag (bahan semen dan beton), anode slime (bahan pemurnian emas dan perak), dan copper tellaride (semi konduktor) dapat dikelola. Dalam kesempatan ini jika memang harus melanjutkan pengelolaan Gresberg selama 20 tahun lagi atau dikelola dengan pihak lain, maka kesempatan meningkatkan perekonomian di bagian timur Indonesia dengan pembangunan industri ikutan tambang hasil Gresberg, bukan lagi wacana pemerataan pembangunan yang merata melainkan aktualisasi dari salah satu cita-cita negara kesatuan.

Masih banyak rintangan dan hal-hal yang tak terduga ke depan. Skenario-skenario apakah Gresberg kembali ke tangan Indonesia, atau dilanjutkan oleh pengelolanya sekarang, apakah masalah ini akan menjadi sengketa internasional dan menyeret aktor-aktor lain ke dalam polemik ini. Tapi satu yang pasti narasi nasionalisme yang berkembang jangan sampai melupakan tanah Freeport berada.

Daftar Pustaka:

Harian Kompas, 7 July 2015, Pertambangan – Investasi Freeport Tidak Boleh Melanggar Aturan

Harian Kompas, 19 Oktober 2015, Analisis Ekonomi – Freeport dan Masa Depan Investasi

Harian Kompas, 23 November 2015 Analisis Ekonomi – Kasus Freeport dan Kepastian Investasi

Harian Kompas, 9 Desember 2015 Pertambangan – Warisan (daripada) Freeport

Harian Kompas, 28 Desember 2015 Industri Mineral – Papua Berharap Pemerintah Pastikan Kontrak Karya Freeport

Harian Kompas, 31 Desember 2015 Kontrak Karya Freeport

Harian Kompas, 1 February 2016 Simalakama Saham Freeport

Harian Kompas, 5 Oktober 2016 Masalah Industrial – Perundingan Pekerja dan Manajemen Freeport Gagal Lagi

Harian Kompas, 15 Desember 2016 Pertambangan – Ujian dari Freeport

Harian Kompas, 11 January 2017 Pembangunan Smelter Freeport

Harian Kompas, 12 January 2017Freeport, Sejarah Kelam Amerika di Indonesia

Harian Kompas, 30 January Pertambangan – Freeport Tunggu Kajian Internal