HARD BALANCING RUSIA DAN TURKI DALAM KONFLIK SURIAH 2012-2015

[Peringatan! – Artikel ini hanya gambaran singkat dan pengantar untuk para pelajar atau peminat Ilmu Hubungan International. Tulisan ini membahas “Hard Balancing Rusia dan Turki dalam Konflik Suriah 2012-2015” dalam ilmu hubungan international. Dilarang keras untuk mensalin artikel website ini untuk keperluan pribadi (tugas, dan lain-lain) tanpa sepengetahuan penulis. Jika ada hal yang kurang dimengerti atau ingin ditanyakan silahkan tinggalkan pesan di sini]

Abstrak

Konflik di Suriah yang berlangsung sejak tahun 2011 telah melibatkan
aktor eksternal termasuk Rusia dan Turki dalam bentuk hard balancing
dengan mendukung pihak berbeda dalam konflik Suriah. Tulisan ini
bertujuan untuk mendeskripsikan latar belakang, bentuk, serta dampak
rivalitas hard balancing Rusia dan Turki dalam konflik Suriah. Kehadiran
Rusia dalam konflik ini untuk mendukung rezim Bashar al Assad secara
politik dan militer dan melindungi kepentingan militer dan ekonominya di
kawasan, sedangkan Turki memberikan dukungan terhadap kelompok
pemberontak. Rivalitas kedua negara tersebut mengakibatkan konflik
Suriah semakin kompleks dan berkepanjangan.

Jurnal Wanua Volume 1 Number 3, Desember 2016

Jurnal Wanua dengan judul “Hard Balancing Rusia dan Turki dalam Konflik Suriah 2012 – 2015” dapat diakses disini

Privatisasi dalam Perspektif Neoliberalisme

[Peringatan! – Artikel ini hanya gambaran singkat dan pengantar untuk para pelajar atau peminat Ilmu Hubungan International. Tulisan ini membahas “Privatisasi dalam Perspektif Neoliberalisme” dalam ilmu hubungan international. Dilarang keras untuk mensalin artikel website ini untuk keperluan pribadi (tugas, dan lain-lain) tanpa sepengetahuan penulis. Jika ada hal yang kurang dimengerti atau ingin ditanyakan silahkan tinggalkan pesan di sini]

Barang-barang yang kita gunakan sehari-hari seperti jalanan, listrik, air, layanan kesehatan, layanan pendidikan, dan juga transportasi merupakan kebutuhan dasar masyarakat yang disediakan oleh pemerintah atau lebih sering disebut dengan Public goods. Public goods mempunyai karakteristik yaitu non-rivalrous dan non-excludable. Yang dimaksud dengan non-rivalrous ialah tidak ada persaingan dalam menggunakan barang tersebut dan non-excludable berarti tidak boleh ada diskriminasi terhadap warga (Taylor, 2012). Agar dapat dijangkau oleh seluruh pihak negaralah yang harus menyediakan barang-barang tersebut. Dalam konteks negara Indonesia, State-Owned Enterprise (SOE) ialah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sayangnya peran negara dalam menghadirkan Public Goods dalam tiga dekade terakhir mulai perlahan-lahan dilepas. Pelepasan perlahan-lahan dalam tanggung jawab menyediakan kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat merupakan bagian dari agenda neoliberalisme terkhususnya privatisasi. Dengan privatisasi, SOE dilepas dan dapat dikelola oleh swasta baik dalam negeri maupun luar negeri. Dengan diserahkannya kewajiban untuk mengadakan seluruh kebutuhan-kebutuhan dasar ke pihak swasta sudah sewajarnya public goods kemudian semakin mahal karena notabene pihak swasta memang mencari keuntungan.

David Harvey dalam bukunya Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis (terj.) mengatakan:

Neoliberalisme pada awalnya merupakan suatu teori ekonomi politik yang menyatakan bahwa kesejahteraan manusia paling bisa dicapai dengan cara meliberalisasikan kebebasan-kebebasan dan keterampilan-keterampilan enterprenuerurial individu dan menempatkan kebebasan dan keterampilan itu ke dalam suatu kerangka pranata yang dicirikan oleh hak milik pribadi yang kuat, pasar bebas, dan perdagangan bebas (Harvey, 2009)

Neoliberalisme sekarang telah menjadi ideologi pembangunan yang lebih ekstrem dari sebelumnya dan ditegakkan oleh institusi-institusi keuangan International.

Mansour Fakih dalam bukunya Bebas dari Neoliberalsime juga mengatakan:

Apa yang menjadi pendirian neoliberalisme sesungguhnya ditandai dengan karakter sebagai kebijakan pasar bebas yang mendorong perusahaan-perusahaan swasta dan pilihan konsumen berkembang, penghargaan atas tanggung jawab personal dan inisiatif kewiraswastaan, serta menyingkirkan birokrat dan parasit pemerintah yang tidak akan pernah mampu bekerja dengan efektif dan efisien meskipun di kembangkan (Fakih, Bebas dari Neoliberalisme, 2010).

Jelas pendapat dari Mansour Fakih ini ialah bagaimana melimpahkan tanggung jawab pemerintah ke pihak individu karena padangan pesimis terhadap pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah.

Sejalan dengan pendapat diatas, George Ritzer berpendapat peran pemerintah dalam prespektif neoliberalisme dalam bukunya Globalization The Essentials ialah:

Limited Government is that no government or government agency can do things as well as the market (the failure of the Soviet Union is seen as proof of that). Among other things, this leaves a government that is, at least theoretically, less able, or unable, to intervene in the market. It also presumably means a less expensive government, one that would need to collect less in taxes. This, in turn, would put more money in the hands of the public, especially the wealthier members of society who, in recent years, have benefited most from tax cuts (Ritzer, 2011).

Ritzer mengatakan bahwa dalam prespektif neoliberalisme peran pemerintah harus ditekan seminim mungkin karena pemerintah tidak bisa bekerja sebaik pasar dan individulah komponen yang terbaik dalam melakukan kegiatan perekonomian.

Kedudukan negara dalam kegiatan perekonomian ialah menciptakan dan melindungi eksistensi pranata yang dicirikan oleh hak milik pribadi yang kuat, perdagangan bebas, dan pasar bebas. Misalnya peran negara berupa menjamin nilai dan integrasi mata uang, membangun struktur dan fungsi militer pertahanan, kepolisian dan hukum yang dibutuhkan untuk melindungi hak-hak milik pribadi dan untuk menjamin agar pasar berjalan dengan semistisnya. Jika pasar tersebut belum tercipta maka negara harus menciptakan pasar tersebut, meskipun dengan aksi intervensi negara (Harvey, 2009). Begitulah peran negara dalam prespektif neoliberalisme, selain hal tersebut negara tidak boleh melakukan hal lain.

Untuk menyebarluaskan pemahaman ini, maka dibutuhkanlah institusi-institusi keuangan internasional yang berperan agar terjaminnya neoliberal ini. Disinilah peran-peran seperti IMF, World Bank (WB), dan World Trade Organisation dalam menyebarluaskan pemahaman neoliberalisme ke negara-negara yang menggunakan jasanya. IMF, World Bank, dan United States Treasury membuat menciptakan sebuah set aturan yang terbaik untuk mempromosikan pembangunan yaitu Washington Consensus (Stiglitz, 2007).  Nama dan konsep Washington Consensus ini pertama kali di perkenalkan oleh John Williamson seorang ekonom dari Institut untuk Ekonomi Interantional pada tahun 1989 dan 1990 (Darmaningtyas, Subkhan, & Panimbang, 2014).

Dalam Washington Consensus ada sepuluh anjuran yang disebut sebagai reformasi. Washington Consensuss inilah yang kemudian disebut sebagai kebijakan pasar bebas atau neoliberalisme. Kesepuluh ajaran tersebut ialah pertama, disiplin fiskal untuk memerangi kebijakan defisit anggaran. Kedua, anggaran pengeluaran untuk publik, kebijakan ini berupa memprioritaskan anggaran belanja pemerintah melalui pemotongan segala subsidi. Ketiga, pembaharuan pajak, yang berupa kelonggaran bagi para pengusaha untuk kemudahan pajak. Keempat, liberalisasi keuangan, yang berupa kebijakan bunga bank yang ditentukan oleh mekanisme pasar. Kelima nilai tukar uang yang kompptetif, berupa kebijakan untuk melepaskan nilai uang tanpa kontrol. Keenam, kebijakan untuk menyingkirkan segala bentuk hambatan yang dapat menganggu perdagangan bebas. Ketujuh, kebijakan untuk menyingkirkan segenap aturan pemerintah yang menghambat masuknya modal asing. Kedelapan, privatisasi, yakni kebijakan untuk memberikan semua pengelolaan perusahaan negara kepada pihak swasta. Kesembilan, deregulasi kompetisi. Dan yang terakhir ialah, intelectual property rights atau hak paten (Fakih, 2011).  Poin kedelapan dari konsensus ini sangat jelas menyangkut diserahkannya perusahaan-perusahaan negara ke pihak swasta.

Menindaklanjuti Washington Consensus, privatisasi juga didorong oleh Structural Adjusment Programs (SAP). Jim Glassman dan Padraig Carmody dalam tulisannya Structrural Adjusment in East and Southeast Asia Lessons from Latin America menjelaskan:

Structural adjustment is a policy package of “free market” economic reforms sponsored by the International Finansial Institutions. Initially structural adjustment programs (SAPs) were introduced to offset what were seen as temporary balance of payments problems in developing countries resulting from increased oil prices and interest rates in the late 1970s. However, with the debt crisis, which broke in 1982, structural adjustment programs became more widespread and long-lived than was initially anticipated (Glassman & Carmody, 2010).

SAP ini sendiri terbagi atas dua macam ekonomi makro dan masing-masing macam ini digunakan oleh IMF dan World Bank. Stablisasi berada dalam bidang IMF dan structural adjusment dimana untuk merekonstruksi ekonomi menuju orientasi ekspor berada di bawah bidang World Bank. Keduanya lebih dikenal dengan SAP (Glassman & Carmody, 2010).

Dijalankannya kebijakan privatisasi juga dapat berasalkan dari Letter of Intent (LoI) yang dikeluarkan oleh IMF. Sama halnya dengan SAP, LoI merupakan seperangkan kebijakan yang harus dilaksanakan oleh negara penerima.

Dengan demikian privatisasi ialah bagian yang tidak terpisah dari neoliberalisme, dimana peran pemerintah sedemikian mungkin harus disingkirkan. Peran pemerintah dalam sistem neoliberal haruslah sekecil mungkin dan yang bisa dilakukan hanyalah untuk mendukung kegiatan pasar bebas. Istilah deregulasi (menghilangkan peraturan untuk menjalankan bisnis), privatisasi (menjual perusahaan negara kepada pihak swasta), dan liberalisasi (menghilangkan batasan perdagangan dan hambatan arus modal) adalah bagian dari neoliberal itu sendiri. Sedangkan untuk memastikan berjalannya proses privatisasi ini terkhususnya negara-negara penerima dana dari IMF dan World Bank, digunakanlah SAP dan LoI.

Daftar Pustaka

Harvey, D. (2009). Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis (terj.). Yogyakarta: Ressist Book.

Fakih, D. M. (2010). Bebas dari Neoliberalisme. Yogyakarta: Inssist Press.

Ritzer, G. (2011). Globalization The Essentials. West Sussex: John Wiley & Sons.

Stiglitz, J. E. (2007). Making Globalization Work. London: Penguin Books.

Darmaningtyas, Subkhan, E., & Panimbang, F. (2014). Melawan Liberalisasi Pendidikan. Malang: Madani.

Fakih, D. M. (2011). Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Glassman, J., & Carmody, P. (2010). Structural Adjusment in East and Southeast Asia: Lesson from Latin America. In G. Ritzer, & Z. Atalay (Eds.), Readings in Globalization: Key Concepts and Major Debates (p. 120). West Sussex: Wiley-Blackwell.

Taylor, T. (2012). The Instant Economist. New York: Plume.

Humanitarian Intervention dalam Ilmu Hubungan International

[Peringatan! – Artikel ini hanya gambaran singkat dan pengantar untuk para pelajar atau peminat Ilmu Hubungan International. Tulisan ini membahas “Humanitarian Intervention” dalam ilmu hubungan international. Dilarang keras untuk mensalin artikel website ini untuk keperluan pribadi (tugas, dan lain-lain) tanpa sepengetahuan penulis. Jika ada hal yang kurang dimengerti atau ingin ditanyakan silahkan tinggalkan pesan di sini]

Ketika terjadi pemberontakan terhadap pemerintahan, atau terjadi perang saudara dan pemerintah negara tersebut tidak dapat menangani maka korban yang jatuh akan sangat banyak. Jika yang terjadi pemberontakan kerap kali korban dari pemberontakan ini tidak hanya dari pihak pemberontak dan rejim pemerintahan, tetapi juga sipil yang berada dalam wilayah perebutan kekuasaan. Namun karena pemerintahan mempunyai angkatan bersenjata yang terorganisir dengan baik, maka dengan mudah pemerintah melakukan penyerangan yang dapat menjatuhkan korban dengan jumlah yang tidak sedikit. Bahkan tidak menutup kemungkinan operasi yang dilakukan oleh angkatan bersenjata pemerintah melakukan genosida (jika suatu suku yang memberontak) atau pembunuhan massal.

Tentunya negara-negara lain tidak akan tinggal diam jika melihat hal ini terjadi di suatu negara. Tidaknya karena pemberontakan tentu masih banyak motif lain dimana negara melakukan genosida, pembunuhan massal, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan-kejahatan yang melanggar hak asazi manusia. Apakah dunia akan tinggal diam begitu saja ketika mengetahui hal ini terjadi ?. Tentu tidak, tapi apa kah pantas untuk suatu ikut campur dalam wilayah kedaulatan negara lain ?. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang singkat terhadap Humanitarian Intervention dan bagaimana suatu hal yang illegal (masuk ke dalam negara lain dan ikut campur) menjadi suatu yang legal.

Intervensi terhadap urusan internal negara kerap kali menjadi pembahasan-pembahasan pada abad 20. Perdebatan antar legal atau tidaknya melakukan intervensi terhadap urusan domestik negara lain. Pada abad 20 banyak negara-negara yang bergejolak di internal negara itu sendiri, seperti genosida atau perang sipil yang bertujuan untuk menjatuhkan rezim pemerintahan. Untuk mengatasi hal demikian pemerintah sering kali menggunakan angkatan bersenjatanya. Menggunakan angkatan bersenjata untuk menertibkan masyarakatnya berarti kondisi ini akan memakan korban baik dari pihak pemerintah maupun pihak masyarakat. Tidak hanya dengan kontak bersenjata antar pihak yang masyarakat yang ingin terjadinya perubahan rejim yang akan mendapatkan dampak dari konflik tersebut, tapi kebijakan-kebijakan state emergency yang notabene akan membatasi hak seluruh warga negara.

Kondisi ini kemudian dilihat sebagai kejahatan atas kemanusiaan. Negara yang melihat hal tersebut biasanya tidak bisa tinggal diam dan merasa harus melakukan sesuatu terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh suatu negara terhadap masyarakatnya. Negara yang mengedepankan kepentingan nationalnya hal-hal kemanusiaan maka akan melakukan sesuatu terhadap negara yang sedang melakukan hal yang sewenang-wenang terhadap akan masyakatnya. hal tersebut berupa intervensi baik militer maupun tidak. Namun intervensi yang dilakukan ialah melanggar kedaulatan suatu negara. Negara yang berdaulat, pemerintahannya bebas untuk melakukan apapun terhadap wilayah, sumber daya, maupun masyarakatnya.

Humanitarian Intervention dan Humanitarian Action ialah dua hal yang berbeda. Humanitarian Action biasanya dikonotasikan untuk para simpatisan-simpatisan atau Non-govermental Organization (NGO) yang bekerja untuk bantuan kemanusiaan. Pada perkembangannya juga tahun 2001 lembaga International Commision on Intervention and State Sovereignty (ICISS) mencoba untuk memakai terminology Humanitarian Intervention karena berseberangan dengan pemahaman agensi-agensi humanitarian yang bergerak di bantuan-bantuan kemanusiaan.[1] Negara yang melakukan intervensi sering kali menggunakan angkatan bersenjata dan memakan korban baik dari pihak yang mengintervensi ataupun diintervensi. Intervensi seperti ini kemudian sangat berseberangan dengan pemaham humanitarian yang dimaksud oleh agensi-agensi yang bergerak dalam kemanusiaan.

Luasnya pembicaraan tentang pembatasan kata humanitarian dalam aksi militer, Kofi Annan sebagai sekeretaris jenderal Persrikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengutarakan pendapatnya di International Peace Academy pada tahun 2000. Annan mengatakan bahwa penggunaan terminologi humanitarian seharusnya dipakai untuk mendeskripsikan operasi militer, tapi tidak intervensi militer, karena akan membuat penggunaan aksi humanitarian semakin kabur. Jika tidak kedepannya akan ada pula kata-kata seperti humanitarian bombing dan masyarakat akan memandang sinis pendapat ini.[2]

J.L Holzgrefe dalam artikelnya Just Intervention dari buku Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas  mendefinisikan Humanitarian Intervention sebagai berikut:[3]

The Threat of force across state borders by a state (or group of states) aimed at preventing or ending widespread and gave violations of fundamental human rights of individuals other than its own citizens, without the permission of the state within whose territory force is applied. [4]

Ancaman kekerasan dari luar perbatasan negara oleh negara (atau kelompok beberapa negara) yang menargetkan untuk mencegah atau mengakhiri penyebaran dan kekerasan terhadap fundamental hak asazi manusia ke individu atau masyarakat tanpa izin dari negara yang terjadi kekerasan dilakukan

Holzgrefe berusaha menjelaskan bahwa intervensi merupakan kekuatan yang berasalkan dari luar negara yang sedang mengalami dinamika dalam negeri seperti pelanggaran kemanusiaan ke warga negaranya sendiri. Kekuatan tersebut tidak perlu hadir dengan ijin dari pemerintah dari negara yang bersangkutan untuk masuk ke dalam negara tersebut. Tujuan dari masuknya negara lain ke dalam negara yang sedang mengalami perang ialah untuk mencegah atau mengakhir kekerasan lebih lanjut terhadap hak asazi manusia.

Sejalan dengan itu ICISS juga mendefinisikan Humanitarian Intervention sebagai:

Action taken against a state or its leaders, without its or their consent, for purposes which are claimed to be humanitarian or protective . . . including all forms of preventive measures, and coercive intervention measures – sanction and criminal prosecutions – falling short of military intervention.[5]

Diambilnya aksi melawan suatu negara atau pemimpinnya, tanpa persetujuan pihak terkait untuk tujuan yang diklaim sebagai kemanusiaan atau perlindungan . . . termasuk seluruh bentuk dan tindakan kekarasan untuk mengintervensi – sanksi dan penuntutan – adalah bentuk pendek dari intervensi militer

Jadi pada dasarnya Humanitarian Intervention ialah aksi yang dilakukan oleh suatu negara dengan paksaan dengan alasan kemanusiaan tanpa persetujuan negara yang akan di intervensi. Tentu legalitas akan intervensi ini terus dipertanyakan. Karena sistem international anarkis atau tidak ada otoritas negara di atas negara lain, maka legalitas untuk melakukan saling intervensi negara yang berdaulat tidak ada.

Setelah berakhirnya perang dingin pada tahun 1989, konsensus tentang illegalnya humanitarian intervention mulai rapuh. Terjadinya pelanggaran Hak Asazi Manusia (HAM) di Yugoslavia dan beberapa negara-negara di Afrika membuat opini publik di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat berkembang dan menginkan pemerintahannya melakukan sesuatu terhadap konflik internal negara itu.[6] Karena tradisional peacekeeping sering kali tidak efektif dan para pengamat membutuhkan legalitas menggunakan kekarasan atau paksaan dalam humanitarian intervention.

Martin Griffith dan Terry O’ Gallaghan dalam bukunya International Relations Key Concept mengatakan terdapat tiga kunci masalah dan argument yang solusinya. Pertama, walaupun betul bahwa humanitarian intervention mengurangi kehormatan terhadap negara yang berdaulat tetapi hubungannya tidak begitu mudah. Kata intervensi menunjukan aksi yang didesain untuk mempengaruhi urusan internal, dan tidak melakukan aneksasi atau pengambilan wilayah.[7] Aksi yang dilakukan Hitler terhadap Polandia bukanlah intervensi melainkan perang. Kerajaan-kerajaan Eropa yang menjajah wilayah-wilayah Asia dan Afrika bukan juga intervensi ataupun perang melainkan penaklukan wilayah.

Kedua, siapa yang berhak melakukan humanitarian intervention. Tidak ada pihak yang melakukan intervensi dan menjadikannya menjadi alasan yang utama. Sangat tidak mungkin jika urusan kemanusiaan menjadi prioritas utama dibandingkan kepentingan nasional.[8] Contohnya pada masa konflik Rwanda tahun 1994 di Afrika Tengah. Para negara-negara yang mempunyai kekuatan besar tidak merasakan pentingnya melakukan intervensi sebagai bentuk tanggung jawab atas rejim pemerintahan yang melakukan genosida terhadap masyarakatnya. Tetapi pada tahun 1999, Amerika Serikat dan NATO melakukan dan mengklaim sebagai aksi humanitarian intervention terhadap krisis yang dihadapi Kosovo.[9]

Terakhir, humanitarian intervention dimaksudkan untuk mengatasi yang pelanggaran HAM. Tetapi tidak ada definisi terkait humanitarian intervention yang secara kultur dinilai netral.[10] Pada abad 17, banyak penulis menanggap negara-negara Eropa seharusnya mempunyai pekerjaan untuk mengintervensi urusan internal negara lain untuk mengkahiri praktek-praktek pengorbanan manusia atau kanibalisme. Para umat kristiani menanggap bahwa menyelematkan jiwa dan melecehkan penyebaran agama kristen ialah hal yang pantas untuk melakukan humanitarian intervention. Sekarang pelanggaran-pelanggaran HAM yang dimaksud umumnya tidak memasukkan kematian secara lambat akibat kemiskinan, malnutrisi, ekonomi, dan politik.

Tahun 2001 bulan Desember ICISS membuat sebuah laporan yaitu Responsibility to Protect (RtoP). Laporan ini mendeskripsikan secara komprehensif dan sangat berhati-hati tentang pemikiran sampai saat ini. ICISS mencoba untuk mengalihkan fokus perdebatan jauh dari hak untuk mengintervensi ke perlindungan terhadap korban.[11] Laporan ini mengatakan pentingnya negara mempunyai tanggung jawab terhadap kejahatan-kejahatan kemanusiaan ke masyarakatnya sendiri.

RtoP mengandung tiga perangkat tanggung jawab yaitu to prevent, to react, to rebuild. To prevent ialah menghindari konflik yang mematikan dan juga tujuan fundamental dari PBB. Pencegahan ialah aspek yang penting dari RtoP. Telah diidentifikasi empat kunci aspek akar untuk pencegahan yaitu politik (pemerintahan yang bagus, HAM, membangun kepercayaan), ekonomi (kemiskinan, ketimpangan dan kesempatan ekonomi), hukum (aturan hukum dan akuntabilitas), dan militer (pelucutan senjata, integrasi kembali, dan reformasi sektoral).[12] Kunci dari pencegahan ini ialah bagaimana memaknai tanda-tanda akan terjadinya kejahatan kemanudiaan.

To react dan to rebuild, dua hal penting yang tentang terbatasnya aksi humanitarian intervention. Pertama kasus Kosovo dan lumpuhnya Dewan Keamanan PBB, kedua tidak adanya aksi yang dilakukan terhadap genosida di Rwanda. Dukungan Kofi Annan sebagai Sekertaris Jenderal terhadap RtoP membuat gagasan ini semakin melesat. Pada tahun 2005 diadakan World Summit, yaitu pertemuan terbesar antar kepala negara dan pemerintah.[13]  Dokumen hasil dari World Summit ini kemudian dibawah ke Sidang Umum PBB dan langsung diadaptasi menjadi resolusi. Sekertaris Jenderal membuat aturan-aturan tentang pengimplementasian RtoP dan mengadaptasi istilah Narrow but Deep.

Narrow but deep artinya sempit tetapi dalam. Yang dimaksudkan dengan sempit ialah secara eksklusif untuk menghindari terjadinya empat kejahatan besar yaitu genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan-kejahatan kemanusiaan dan juga perlindungan. Sedangkan dalam yang dimaksud ialah menggunakan seluruh instrument yang tersedia dalam sistem PBB, perjanjian regional, anggota negara, dan juga masyarakat sipil.

RtoP juga akan runtuh jika tidak dukung dengan tiga pilar ini. Pilar pertama tanggung jawab utama dari negara untuk melindungi masyarakatnya dari genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan kemanusiaan. Sekertaris Jenderal Kofi Annan menganggap pilar pertama ini sebagai bebatuan dasar RtoP. Pilar kedua tanggung jawab komunitas international untuk mengawal dan mendorong negara untuk menegakkan tanggung jawab untuk melindungi, dengan cara membantu mereka untuk mengatasi dasar terjadinya genosida dan kekejaman massal, dan membantu untuk membangun kapasitas agar tidak terjadinya kejahatan ini.[14]

Pilar ketiga ialah tanggung jawab komunitas international untuk mengambil keputusan yang tepat waktu dan menentukan aksi untuk melindungi populasi dari empat kejahatan melalui diplomasi, aksi kemanusiaan, dan hal-hal perdamaian lainnya.[15] Tiga pilar ini lah yang menjadi hal yang menopang agar aksi agar menghindari atau mengatasi terjadinya empat kejahatan besar yang dimaksud. Negara dan komunitas international mempunyai peran masing-masing dalam RtoP ini.

Pada tahun 2011, Dewan Keamanan PBB memandatkan NATO untuk melakukan kontribusi terhadap pemaksaan pergantian rejim pemerintahan yang sementara berjalan. Alhasil diberinya kewenangan terhadap NATO untuk menggunakan persenjataan malah menjatuhkan korban dari pihak sipil. Penggunaan persenjataan ini meningkatkan risiko yang di terima oleh pihak sipil dan mengacuhkan atau menolak kesempatan untuk melakukan dialog lebih lanjut.[16] RtoP merupakan paksaan dan penggunaan alat kekuatan.

 

Daftar Pustaka:

[1] Aidan Hehir, 2010. Humanitarian Intervention an Introduction. New York : Palgrave Macmillan. hal. 12-13

[2] Ibid

[3] J.L. Holzgrefe, Robert O. Keohane, 2003. Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas. Cambridge: Cambridge University Press. Hal. 18

[4] Aiden Hehir. Op. Cit.

[5] Ibid

[6] Martin Griffiths & Terry O’Gallaghan, 2002. International Relations: Key Concept. London:  Routledge. hal. 146

[7] Ibid.

[8] Ibid

[9] Ibid

[10] Ibid

[11] John Baylis, Steve Smith, & Patricia Owens. 2011. The Globalization of World Politics An

Introduction to International Relations. Oxford: Oxford University Press. hal. 486

[13] Ibid hal. 488

[14] ibid

[15] Ibid

[16] Ibid hal. 490

Balance of Power dalam Ilmu Hubungan International

[Peringatan! – Artikel ini hanya gambaran singkat dan pengantar untuk para pelajar atau peminat Ilmu Hubungan International. Tulisan ini membahas “Balance of Power” dalam ilmu hubungan international. Dilarang keras untuk mensalin artikel website ini untuk keperluan pribadi (tugas, dan lain-lain) tanpa sepengetahuan penulis. Jika ada hal yang kurang dimengerti atau ingin ditanyakan silahkan tinggalkan pesan di sini]

Dalam Ilmu Hubungan International tentunya sudah akrab dengan istilah Balance of Power atau perimbangan kekuatan. Konsep ini merupakan konsep yang sudah lumayan dan masih digunakan untuk melihat dinamika politik international sekarang ini. Dalam tulisan ini saya tidak bermaksud untuk memberikan sejarah singkat tentang Balance of Power tapi hanya menuliskan apa dan bagaimana Balance of Power itu sendiri. Persaingan antar kedua atau lebih negara atau aliansi tentu dapat dianalisis dengan konsep ini.

Balance of Power atau perimbangan kekuatan ialah gagasan yang sangat sering digunakan dalam membahas isu-isu hubungan international. Balance of Power menggambarkan bagaimana negara-negara saling berinteraksi dan saling mengimbangi dalam hal kekuataan. Balance of Power pertama kali di perkenalkan oleh Ernst Haas pada tulisannya The Balance of Power: Prescription, Concept, or Propaganda dalam jurnal World Politics.

Dalam jurnal tersebut  Ernst Haas menyebutkan bahwa Balance of Power mempunyai banyak artian, yaitu:[1]

  1. Balance dalam artian distribution of power Haas menyebutkan bahwa para negarawan ketika mengatakan “balance of power has shifted” yang dimaksud ialah lawan dari negaranya telah meningkatkan kekuatannya.
  2. Balance dalam artian equilibirium ialah formulasi antar kekuatan eksternal dan international antar negara yang bersaing atau aliansi negara yang setara
  3. Balance dalam artian hegemony, yan­­g mengatakan bahwa negara-negara bukanlah mencari kesimbangan tapi hegemoni. Tidak ada keamanan yang nyata selain negara kuat yang mempunyai potensi sebagai musuh. Yang dimaksud keamanan ialah ketika kekuatan negara lain lebih kecil.
  4. Balance dalam artian stability and peace, para pemikir dunia ideal tidak bermaksud mengartikan Balance of Power sebgai metode untuk menciptakan kondisi yang stabil dan damai, tetapi stabil dan damai itu sendiri lah Balance of Power
  5. Balance dalam artian instability and war, hal ini merupakan kontras dari sebelumnya. Balance of Power ialah perang, sedangkan damai identic dengan menyelesaikan seluruh isu yang ada dengan moral, ekonomi, dan ciri etnografi.
  6. Balance dalam artian power politics. Kekuasaan ialah kekuasaan murni dari politik atau yang disebut dengan Real Politic, dan Balance of Power telah bergabung menjadi satu konsep, konsep tentang negara yang bertahan dalam kompetitifnya dunia international akan permintaan menggunakan kekuasaan tanpa hambatan oleh pertimbangan moral.
  7. Balance dalam artian universal law of history. Apa yang dimaksud dengan Balance of Power ialah manifistasi insting primitif dari self defence yang menggabungkannya dengan seluruh urusan manusia, bangsa dan international.
  8. Balance dalam artian system and guide to policy making, ialah hanya equilibrium dalam kekuatan dalam ikatan anggota keluarga negara-negara yang akan membatasi mereka, ketika mereka menjadi kuat dan akan memaksakan kehendaknya ke pihak lain.

Menurut H.C. Palmer dan N. D. Perkins dalam bukunya International Relations, Balance of Power ialah:

the balance of power assumes that through shifting alliances and countervailing pressures no one power or combination of powers will be allowed to grow so strong as to threaten the security of the rest.[2]

Perimbangan kekuatan mengasumsikan bahwa perubahan aliansi dan tekanan yang menyimbangkan agar tidak ada satu kekuatan atau gabungan kekuatan yang dibiarkan berkembang semakin kuat hingga mengancam keamanan yang lainnya

Palmer dan Perkins meyakini bahwa besarnya kekuatan suatu negara menjadikannya sebagai ancaman untuk negara lain. Oleh karena itu akibat dari merasa terancam dari kekuatan dari negara tersebut, negara yang terancam kemudian membuat aliansi dengan negara lain untuk menyeimbangkan kekuatannya.

Sejalan dengan pendapat itu Inis L. Claude dalam bukunya Power and International Relations mengatakan bahwa Balance of Power ialah:

when any state or bloc becomes, or threatens to become, inordinately powerful, other states should recognise this as a threat to their security and respond by taking equivalent measures, individually and jointly, to enhance their power.[3]

ketika suatu negara atau blok menjadi ancaman atau tidak biasanya berkukatan, negara lain harus menyadarinya sebagai ancaman terhadap keamanannya dan menanggapinya dengan cara menyeratakan kekuatan baik secara individu maupun gabungan.

Dari kedua pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa Balance of Power ialah usaha suatu negara untuk mengimbangi kekuatan negara lain yang mengancam keamananya. Ancaman dapat berasal dari suatu negara atau blok kekuatan yang terdiri dari gabungan-gabungan negara. Ketika terdapat negara yang telah membangun kekuatan baik secara sendiri maupun dengan membangun blok atau aliansi, maka hal tersebut akan menjadi ancaman keamanan bagi negara-negara lain. Negara yang terancam inilah kemudian akan membangun kekuatan untuk menjaga keamanan negaranya kemudian. Untuk menyimbangi kekuatan yang membuat terasa terancam maka negara terancam kemudian akan membangun kekuatannya sendiri atau bergabung dengan suatu blok demi menghilangkan ancaman atau mengamankan diri sendiri.

Keadaan Balance of Power yang nyata ialah ketika terdapat dua atau lebih negara dan adanya negara yang lebih lemah. Sejarah mencatat bahwa kondisi Balance of Power yang terjadi dalam catatan sejarah kuno yang paling lampau ialah Perang Peloponnesian. Dimana masa Yunani Kuno terdapat kondisi Bipolarity yaitu dua kutub kekuatan besar yakni Athena dan Sparta. Keduanya merupakan kekuatan besar dibandingkan kota-kota lain yang berada dalam daerah Yunani. Negara-negara yang lain bekerja sama dengan Athena atau Sparta untuk mendapatkan perlindungan dari kekuatan salah satunya.

Kemudian Yunani memutuskan untuk membangun suatu aliansi bersama yaitu Liga Hellenic dan memberikan kewenangan terhadap Athena dan Sparta sebagai pemimpin liga tersebut. Liga Hellenic ini kemudian dibentuk pada tahun 492-477 SM untuk menandingi serangan dari Persia. Setelah Yunani berhasil mengusir serangan Persia, terdapat konflik kecil dalam tubuh liga tersebut. Athena mengekspansi wilayahnya sehingga mengambil wilayah kota kecil. Karena merasa terancam kota-kota kecil ini kemudian bergabung dengan Sparta untuk melindungi keamanan wilayah mereka. Akhirnya Sparta dan kota-kota kecil yang merasa terancam oleh sifat ekspansif Athena membuat suatu aliansi yaitu Liga Peloponnesia. Athena pun membangun aliansi untuk melakukan ekspansi. Akhirnya dua aliansi yang didalamnya terdapat Athena dan Sparta kemudian saling bertempur.[4]

Balance of Power mempunyai tipe-tipe yaitu unipolarity, bipolarity, dan multipolarity. Unipolarity ialah kondisi dimana hanya satu negara yang mempunyai kekuatan besar dibandingkan dengan kekuatan lain. Para penliti percaya bahwa Amerika Serikat adalah negara superpower dan tidak ada yang dapat menyainginya. Oleh karena itu kondisi kekuatan dunia sekarang terpusatkan oleh satu negara saja.[5]

Bipolarity adalah kondisi dimana terjadi pemusatan kekuatan di dua negara atau dua blok (aliansi). Kondisi terjadi ketika masa Perang Dunia II dimana Amerika Serikat dan Uni Soviet diyakini berada pada puncak kekuatan dibandingkan negara-negara lainnya. Walaupun beberapa peniliti tetap tidak sepakat jika Uni Soviet dapat disetarakan dengan Amerika Serikat karena jika diliat dari perekonomiannya Uni Soviet sangat jauh perbedaan kekayaannya dengan Amerika Serikat. Tetapi Uni Soviet dapat memicu terjadinya Arms Race dan juga membangun aliansi-aliansi untuk saling mengimbangi.[6]

Multipolarity adalah kondisi setidaknya terdapat tiga negara atau blok (aliansi) yang mempunyai kekuatan yang sangat besar. Hal ini terjadi pada abad 19 dimana beberapa kerajaan atau negara saling beraliansi satu sama yang lain untuk melawan kerajaan atau kekaisaran yang lebih besar.[7]

T. V. Paul, dalam artikelnya Introduction: The Enduring Axioms of Balance of Power Theory and Their Contemporary Relevance mengatakan bahwa

The ultimate purpose of any balancing strategy is to reduce or match the capabilities of a powerful state or a threatening actor, the various means that states adopt, besides increasing their military strength or forming alliances.[8]

Tujuan utama dari segala strategi penyimbangan ialah untuk mengurangi kapabilitas pertarungan dari negara yang sangat kuat atau aktor yang mengancam, berbagai arti yang lain ialah negara mengadaptasi selain meningkatkan kemampuan militer atau membuat aliansi.

Ada juga beberapa strategi dari Balance of Power menurut T.V. Paul yang dapat dilhat dari bagaimana balance itu kemudian terbentuk. Hal tersebut dapat dibentuk dengan Hard Balancing, Soft Balancing, dan Asymmetric Balancing.[9] Hard Balancing ialah strategi yang dilakukan oleh suatu negara yang berada dalam kondisi persaingan yang intens bersama negara lain. Negara yang bersaing ini kemudian akan meningkatkan kemampuan militernya dan juga membuat aliansi yang formal untuk menyimbangi lawannya.[10]

Soft Balancing ialah pembangunan aliansi secara diam-diam. Pembangunan aliansi secara diam-diam ini terjadi akibat suatu negara secara umum membangun perjanjian atau kesepahaman militer terbatas kepada negara lain untuk mengantisipasi potensi terjadinya negara yang mengancam atau negara yang sedang meningkatkan kekuatannya. Soft balancing biasanya berdasarkan peningkatan persenjataan terbatas, latihan gabungan sementara, atau berkolaborasi dalam institusi regional atau global. Soft balancing  ini dapat berubah menjadi hard balancing ketika terjadi persaingan yang lebih intens dan negara yang mempunyai power lebih memulai jadi ancaman.[11]

Asymmetric Balancing ialah usaha negara untuk menyimbangkan atau memberikan ancaman tidak langsung oleh sub-negara, seperti kelompok teroris yang tidak mempunyai kemampuan untuk menantang angkatan perang suatu negara secara kapabilitas ataupun strategi. Asymmetric balancing juga dikatakan sebagai sisi balik koin yaitu usaha yang dilakukan oleh sub-negara dan yang mereka sponsori untuk menantang dan melemahkan negara yang mapan.

Daftar Pustaka:

[1] Ernst B. Haas, 1953. “The Balance of Power”. World Politics Vol. 5 No. 4. Cambridge: Cambridge University Press. Hal. 447-455

[2] Michael Sheehan, 1996. The Balance of Power. London: Routledge. Hal. 3

[3] Ibid.

[4] Robert Jackdon & George Sorensen, 2014. Pengantar Studi Hubungan International. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 116

[5] Martin Griffith & Terry O’ Gallaghan Op Cit. 13-14

[6] Ibid

[7] Ibid

[8] T.V. Paul, James J. Writz, and Michael Fortman, 2004. Balance of Power Theory and Practice in 21th Century. Stanford: Stanford University Press. Hal. 2-3

[9] Ibid. hal. 3

[10] Ibid.

[11] Ibid.

Neoliberalisme: Mengingat Kembali (1)

Original Posted: 14 Maret 2016 – Website HIMAHI FISIP UNHAS

 

Pada tahun 1930 silam paham Ekonomi Liberalisme akhirnya mengalami krisis. Fenomena ini menjadi cukup hebat karena liberalisme yang diagung-agungkan mampu mengatur dirinya sendiri (baca: self regulating market) akhirnya berada di titik krisis tertinggi dan mengakibatkan fenomena yang kemudian disebut Great Depression. Menurut para ahli Great Depression ini terjadi akibat tidak adanya sistem penilaian/pengaturan yang komprehensif, dan akhirnya lahirlah ilmu Macro-Ekonomi yang diperuntukkan membaca seluruh sistem ekonomi yang berjalan dalam suatu Negara secara komprehensif. Tidak hanya itu, di tingkat politik global dampaknya bahkan mencapai Perang Dunia II.

Selagi berlangsungnya Perang Dunia II di tahun 1944, Negara-negara yang berada dipihak Aliansi (terutama Amerika Serikat dan Inggris) membentuk Bretton Woods sebuah rejim perekonomian internasional yang dibentuk untuk menghindari Depresi yang terjadi setelah Perang Dunia (Ritzer, 2011). John Maynard Keyness menjadi salah satu pemikirnya. Bretton Woods ini menjadi sebuah rejim perekonomian dengan narasi bahwa nilai mata uang yang dikeluarkan oleh suatu Negara harus sesuai dengan cadangan emas yang ada di dalam Negara tersebut. Tidak hanya itu, untuk membantu Negara-negara korban peperangan maka dibentuk juga institusi-institusi seperti International Monetary Fund (IMF), International Bank for Development (IDB), dan General Agreement of Tariff and Trade (GATT).

Tidak bertahan lama, kurang dari 4 dekade sistem Bretton Woods ini akhirnya runtuh. Dengan dikeluarkannya kebijakan President Amerika Serikat saat itu, Richard Nixon, tepatnya tanggal 15 Agustus 1971 bahwa kuantitas emas tidak lagi bisa dijadikan acuan nilai dari suatu mata uang (Ritzer, 2011). Hal tersebut diakibatkan banyaknya pengeluaran uang Amerika Serikat untuk membiayai perangnya di Vietnam, dan momentum inilah yang kemudian lebih dikenal dengan The End of Bretton Woods System.

Pada tahun 1947 Friedrich August von Hayek membentuk Mount Pelerin Society di Swiss (Stegger & Roy, 2010). Perkumpulan ini dibentuk untuk membicarakan kebangkitan kembali perekonomian liberal setelah runtuh pada saat Great Depression, dan digantikan oleh Bretton Woods dimana pemerintah mempunyai peranan untuk mengupayakan Wellfare State (Negara Kesejahteraan), konsep ini digagas oleh John M. Keyness (Baswir, 2009). Hal inilah yang dinilai sebagai pembatasan terhadap individu karena peranan Negara dalam aktifitas perekomonian yang terlalu jauh, padahal Negara sebenarnya hanya perlu membuat dan memastikan atmosphere yang baik dan aman bagi individu-individu dalam melakukan aktifitas perekonomian.

Milton Friedman murid von Hayek beranggapan bahwa kehidupan masyarakat akan berlangsung lebih baik jika tanpa campur tangan apapun dari pemerintah, Friedman menyatakan bahwa tingkat pengangguran masyarakat tidak seharusnya diatasi dengan campur tangan pemerintah, melainkan diserahkan saja kepada mekanisme pasar kerja yang bebas (Darmaningtyas, Subkhan, & Panimbang, 2014). Milton Friedman mengajar di Universitas Chicago pada tahun 1946, dan akhirnya Univeristas Chicago menjadi pusat perkembangan Neoliberalisme, dan lulusannya yang mendalami neoliberalisme kemudian disebut Chicago Boys (Ritzer, 2011). Dalam literatur-literatur Indonesia sering kali penulis menggunakan istilah ‘Mazhab Chicago’ yang mengasosiasikannya dengan pemikiran neoliberalisme ala Milton Friedman. Dominasi pemikiran neoliberalisme me”roket” sejak pemberian hadiah nobel kepada Hayek di tahun 1974 dan Friedman pada tahun 1976. Penerimaan penghargaan ini kemudian membawa semacam aura superioritas akademik bagi gagasan-gagasan neoliberalisme (Hiariej, 2012).

William Easterly juga mengemukakan pendapat terhadap peran pemerintah dalam perekonomian. Setidaknya ada lima anggapan bahwa peran pemerintah adalah langkah yang buruk dibandingkan dengan peran individu. Pertama, pemerintah minim akan pengetahuan sedangkan individu mencoba untuk megumpulkan pengetahuan dan bahkan belajar dari kegagalan. Kedua, pemerintah sangat lambat dalam menerima umpan balik dari pasar sedangkan individu dapat meresponnya dengan cepat. Ketiga, individu tidak segan untuk memakai kekayaan alam. Keempat, individu mempunyai keunggulan dalam meningkatkan pasar dan korposasinya demi keuntungan. Kelima pemerintah tidak berani dalam mengambil resiko yang besar sedangkan individu berani untuk mengambil resiko tersebut (Ritzer, 2011).

Pada tahun 1979 Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher terpilih dan di Amerika Serikat Ronald Reagan terpilih sebagai Presiden pada tahun 1981. Dua sosok ini menjadi Role Model praksis bagi pemikiran neoliberalisme. Thatcher yang terkenal dengan There is No Alternative (TINA) melihat pada saat itu Inggris memasuki masa krisis dan untuk menghemat serta mengefisiensikan anggaran maka pemerintah harus menjual aset-asetnya ke pihak swasta (baca: Privatisasi) (Stegger & Roy, 2010). Sedangkan Reagan mempunyai gagasan supply-side economics, trickle down economics, atau yang lebih dikenal dengan trickle down effect, yakni pemotongan pajak terhadap korporasi. Pemotongan pajak tersebut kemudian menjadi insentif agar korporasi-korporasi memakai keuntungan dari pemotongan tersebut untuk menginvestasikannya kembali agar mendapatkan keuntungan yang lebih. Dari keuntungan yang lebih itu pemerintah berharao agar korporasi dapat memberikan bantuan kepada masyarakat sekitar dan menggantikan peran pemerintah.

Akhirnya pada tahun 1989 diperkenalkanlah Washington Consensus oleh John Williamson. Yaitu:

  1. A guarantee of fiscal discipline, and a curb to budget deficit
  2. A reduction of public expenditure, particularly in the military and public administration
  3. Tax reform, aiming at the creation of a system with a broad base and with effective enforcement
  4. Financial liberalization, with interest rates determined by the market
  5. Competitive exchange rates, to assist export-led growth
  6. Trade liberalization, coupled with the abolition of import licensing and a reduction of tariffs
  7. Promotion of foreign direct investment
  8. Privatization of state enterprises, leading to efficientmanagement and improved performance
  9. Deregulation of the economy
  10. Protection of property rights(Stegger & Roy, 2010)

Lembaga-lembaga seperti World Bank, International Monetary Fund, World Trade Organization, & Asian Development Bank kemudian menerepkan hal ini sebagai syarat jika ingin melakukan peminjaman. Hal inilah yang disebut sebagai There is No Free Lunch (tidak ada makan siang yang cuma-Cuma). Instrument-isntrument yang digunakan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional ini berupa Structural Adjustment Program, Letter of Intent, dan Perjanjian-perjanjian perdagangan WTO yang apabila tidak ditepati, Negara akan mendapatkan sanksinya.

Selanjutnya

Neoliberalisme: Melembagakannya (2)

 

Daftar Pustaka

Ritzer, G. (2011). Globalization: The Essentioal. Oxford: Wiley-Blackwell.

Stegger, M. D., & Roy, R. K. (2010). Neoliberalism: A Very Short Introduction. Oxford: Oxfor University Press.

Baswir, R. (2009). Bahaya Neoliberalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Darmaningtyas, Subkhan, E., & Panimbang, F. (2014). Melawan Liberalisasi Pendidikan. Malang: Madani.

Hiariej, E. (2012). Globalisasi, Kapitalisme, dan Perlawanan. Yogyakarta: Institute of International Studies.