Peraturan, Cadangan, dan Tanah (Freeport Vs Indonesia)

[Peringatan! – Dilarang keras untuk mensalin artikel website ini untuk keperluan pribadi (tugas, dan lain-lain) tanpa sepengetahuan penulis. Jika ada hal yang kurang dimengerti atau ingin ditanyakan silahkan tinggalkan pesan di sini]

Permasalahan PT. Freeport Indonesia (selanjutnya disebut Freeport) sejak 2015 sangat sering terdengar, belum lagi dua pekan terakhir dukungan-dukungan berupa poster, tulisan, dan video ramai di media sosial mendukung kebijakan pemerintah sebagai bentuk berdaulatnya negara. Hal ini cukup mengingatkan saya akan final AFF terakhir, saya bukan peminat sepak bola tapi ramai-ramai pembicaraan dengan semangat satu bangsa sangat kental saya liat di media sosial, berita, dan juga kehidupan sehari-hari. Tapi sayangnya dua hal ini berbeda, permasalahan ini tidak hanya melibatkan Indonesia dan Freeport, ini juga menyangkut tanah Papua.

Peraturan dan Cadangan

Sejak akhir dekade 1960an, sejarah Indonesia agak sulit dipisahkan dari Freeport. Dalam dekade ini, Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto mulai bangkit, dan UU No. 1 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan ditetapkan. Pada tahun 1967, perjanjian Kontrak Karya (KK) ditanda tangani oleh kedua pihak antar Indonesia dan Pemerintah. Dalam KK disebutkan bahwa Freeport diberikan kewenangan untuk mengelola 1.000 hektar untuk dikelola. Perjanjian ini kemudian dapat diperpanjang sebanyak dua kali, dan bersifat Lex Specialis (ketentuan khusus yang mengesampingkan ketentuan umum).

Tahun 2009 pemerintah mengeluarkan UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba. Dalam UU ini perusahaan penambang tidak dapat lagi mengekspor bijih atau konsentrat, oleh karena itu seluruh hasil tambang harus dikelola dulu menjadi katoda melalui smelting dan refining. Lima tahun kemudian keluar PP No. 77 tahun 2014, dalam pasal 7c mengatur bahwa saham yang boleh dimiliki oleh pihak asing dalam kegiatan eksplorasi ialah 75% dan produksi sebanyak 70% dan mengajukan perpanjangan dua tahun sebelum berakhir. Setahun kemudian mengingat KK Freeport akan berakhir pemerintah mengajukan lima syarat untuk perpanjangan pertama, melakukan perpanjangan dua tahun sebelum berakhir. Kedua, meningkatkan muatan lokal (tanggung jawab CSR diwilayah yang berdampak). Ketiga, melakukan divestasi sebanyak 30% secara bertahap. Keempat, meningkatkan royalti tembaga dari 0,5% menjadi 45, emas dari 1% menjadi 3,75%, dan perak 3,25%. Dan terakhir, membangun smelter sebelum tahun 2021.

Tidak berhenti dengan itu, pemerintah mengeluarkan PP No.1 tahun 2017 yang mengatur Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) lebih lanjut. IPUK mewajibkan divestasi sebanyak 51% secara bertahap, permohonan perpanjangan paling cepat 5 tahun sebelum berakhir waktu izin usaha, pemerintah mengatur harga patokan penjualan minerba, mewajibkan pemegang KK diganti menjadi IUPK, dan pemegang KK tidak lagi mempunyai izin mengekspor konsentrat yang akan diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

Kebijakan ini sentak membuat hubungan pemerintah dan Freeport memanas. Beberapa kali melakukan tarik ulur, Freeport menginginkan adanya jaminan akan diperpanjangnya KK dan membangun smelter, sedangkan pemerintah menginginkan Freeport mengikuti PP No. 1 tahun 2017. Sebelumnya, pemurnian bijih dan konsentrat Freeport dilakukan di dua tempat yakni + 30% PT. Smelting di Gresik dan + 60% Atlantic Cooper di Spanyol (data 2002). Ketidaksepakatan ini kemudian disampaikan oleh Freeport langsung oleh Presiden dan CEO Richard C Adkerson dalam konferensi Pers di Jakarta dan akan mengajukan Indonesia dan Arbitrase Internasional, Investor-state Dispute Settlement (ISDS). Freeport akan menggunakan ISDS tempat dimana perusahaan swasta menuntut pemerintah yang melakukan pelanggaran dengan cara menantang hukum, regulasi, atau peraturan administratif yang dikeluarkan. Materi yang rencanakan digugat ialah UU Minerba tahun 2009 dan status KK yang dipegang.

Membangun smelter memerlukan investasi yang cukup besar, jika Freeport harus membangun smelter untuk mengelola seluruh hasil tambang maka memerlukan USD 2,3 juta (setara dengan Rp.31 triliun). Sementara Freeport harus mengubah cara berproduksi hasil tambangnya dari Open Pit menjadi Underground Mining yang memerlukan dana USD 81 milyar (setara Rp. 1.215 triliun). Kondisi mengalihkan cara berproduksi dan ketidakpastian keberlanjutan Freeport membuat investor sulit untuk mengambil keputusan karena keamanan investasi yang masih terombang-ambing.

Menurut Freeport, KK mempunyai status Les Spesialis derogat Lex Generalis sehingga memaksakan mengikuti UU dan PP adalah sebuah pelanggaran atas kesepakatan. Namun beberapa ahli mengatakan Les Spesialis hanya berlaku dengan peraturan setingkat, sedangkan KK yang dikantongi oleh Freeport tidak dapat dikatakan setara dengan UU hanya karena menyerupai proses pembuatan UU (melibatkan kementerian terkait dan persetujuan DPR-RI).

Kementerian ESDM mengatakan bahwa cadangan emas yang dikelola oleh Freeport masih sekitar 1.800 ton. Kontribusi pemasukan mineral dan tambang antara Newmont dan Freeport terbilang cukup kurang dibandingkan dengan BUMN. Kondisi Indonesia pada saat melakukan perjanjian kerja sama tahun 1967 jauh berbeda dengan sekarang. Walaupun kondisi yang berbeda, Indonesia harus tetap mencari investor asing untuk mengelola tambang tersebut.

Tanah tempat Freeport berada

Cukup untuk membicarakan perseteruan Indonesia dan Freeport. Setelah berhasil merebut Papua dari Belanda tahun 1963, Papua tidak langsung resmi bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Papua baru resmi masuk ke dalam NKRI pada tahun 1969, itu pun setelah melalui dinamika yang panjang. Artinya sebelum resmi masuk ke dalam NKRI, pemerintah terlebih dahulu menyepakati KK. Akhirnya, cadangan Gresberg, tanah suku Amungme dan beberapa suku lain secara paksa direbut. Benar, Freeport telah merekrut dan mengganti rugi tanah yang direbut, tapi satu yang jelas hal tersebut tidak akan pernah cukup. Tidak adanya perjanjian dari awal dengan penduduk setempat membuat hal ini sulit untuk di taksir, belum lagi permasalahan tanah adat tidak pernah selesai dengan angka-angka.

Pemerintahan Provinsi Papua telah meminta saham untuk pemerintah daerah, tapi mengetahui keterbatasan, sulit untuk mendapatkan saham pertambangan tersebut. Namun mengadakan smelter di Papua tidaklah sesulit yang diumbar-umbar oleh Freeport. Alasan memilih bentuk negara kesatuan tidak terlepas dari cita-cita ingin memeratakan perekonomian dan pertumbuhan di Indonesia, namun pembangunan smelter yang berkembang baik pemerintah dan Freeport hanya di wilayah Gresik saja. Hal tersebut karena kedekatan Freeport dan Mitsubishi Corp. yang memang telah bersama-sama mengelola PT. Smelting. Seharusnya perencanaan pembangunan smelter dilaksanakan di Papua, karena akan membangun industri, dan dari industri itu diharapkan meningkatkan baik lapangan kerja maupun pendapatan daerah. Jika smelter dibangun di Papua, maka hasil ikutan tambang utama dari Gresberg seperti gypsum (bahan semen), copper slag (bahan semen dan beton), anode slime (bahan pemurnian emas dan perak), dan copper tellaride (semi konduktor) dapat dikelola. Dalam kesempatan ini jika memang harus melanjutkan pengelolaan Gresberg selama 20 tahun lagi atau dikelola dengan pihak lain, maka kesempatan meningkatkan perekonomian di bagian timur Indonesia dengan pembangunan industri ikutan tambang hasil Gresberg, bukan lagi wacana pemerataan pembangunan yang merata melainkan aktualisasi dari salah satu cita-cita negara kesatuan.

Masih banyak rintangan dan hal-hal yang tak terduga ke depan. Skenario-skenario apakah Gresberg kembali ke tangan Indonesia, atau dilanjutkan oleh pengelolanya sekarang, apakah masalah ini akan menjadi sengketa internasional dan menyeret aktor-aktor lain ke dalam polemik ini. Tapi satu yang pasti narasi nasionalisme yang berkembang jangan sampai melupakan tanah Freeport berada.

Daftar Pustaka:

Harian Kompas, 7 July 2015, Pertambangan – Investasi Freeport Tidak Boleh Melanggar Aturan

Harian Kompas, 19 Oktober 2015, Analisis Ekonomi – Freeport dan Masa Depan Investasi

Harian Kompas, 23 November 2015 Analisis Ekonomi – Kasus Freeport dan Kepastian Investasi

Harian Kompas, 9 Desember 2015 Pertambangan – Warisan (daripada) Freeport

Harian Kompas, 28 Desember 2015 Industri Mineral – Papua Berharap Pemerintah Pastikan Kontrak Karya Freeport

Harian Kompas, 31 Desember 2015 Kontrak Karya Freeport

Harian Kompas, 1 February 2016 Simalakama Saham Freeport

Harian Kompas, 5 Oktober 2016 Masalah Industrial – Perundingan Pekerja dan Manajemen Freeport Gagal Lagi

Harian Kompas, 15 Desember 2016 Pertambangan – Ujian dari Freeport

Harian Kompas, 11 January 2017 Pembangunan Smelter Freeport

Harian Kompas, 12 January 2017Freeport, Sejarah Kelam Amerika di Indonesia

Harian Kompas, 30 January Pertambangan – Freeport Tunggu Kajian Internal

HARD BALANCING RUSIA DAN TURKI DALAM KONFLIK SURIAH 2012-2015

[Peringatan! – Artikel ini hanya gambaran singkat dan pengantar untuk para pelajar atau peminat Ilmu Hubungan International. Tulisan ini membahas “Hard Balancing Rusia dan Turki dalam Konflik Suriah 2012-2015” dalam ilmu hubungan international. Dilarang keras untuk mensalin artikel website ini untuk keperluan pribadi (tugas, dan lain-lain) tanpa sepengetahuan penulis. Jika ada hal yang kurang dimengerti atau ingin ditanyakan silahkan tinggalkan pesan di sini]

Abstrak

Konflik di Suriah yang berlangsung sejak tahun 2011 telah melibatkan
aktor eksternal termasuk Rusia dan Turki dalam bentuk hard balancing
dengan mendukung pihak berbeda dalam konflik Suriah. Tulisan ini
bertujuan untuk mendeskripsikan latar belakang, bentuk, serta dampak
rivalitas hard balancing Rusia dan Turki dalam konflik Suriah. Kehadiran
Rusia dalam konflik ini untuk mendukung rezim Bashar al Assad secara
politik dan militer dan melindungi kepentingan militer dan ekonominya di
kawasan, sedangkan Turki memberikan dukungan terhadap kelompok
pemberontak. Rivalitas kedua negara tersebut mengakibatkan konflik
Suriah semakin kompleks dan berkepanjangan.

Jurnal Wanua Volume 1 Number 3, Desember 2016

Jurnal Wanua dengan judul “Hard Balancing Rusia dan Turki dalam Konflik Suriah 2012 – 2015” dapat diakses disini

Privatisasi dalam Perspektif Neoliberalisme

[Peringatan! – Artikel ini hanya gambaran singkat dan pengantar untuk para pelajar atau peminat Ilmu Hubungan International. Tulisan ini membahas “Privatisasi dalam Perspektif Neoliberalisme” dalam ilmu hubungan international. Dilarang keras untuk mensalin artikel website ini untuk keperluan pribadi (tugas, dan lain-lain) tanpa sepengetahuan penulis. Jika ada hal yang kurang dimengerti atau ingin ditanyakan silahkan tinggalkan pesan di sini]

Barang-barang yang kita gunakan sehari-hari seperti jalanan, listrik, air, layanan kesehatan, layanan pendidikan, dan juga transportasi merupakan kebutuhan dasar masyarakat yang disediakan oleh pemerintah atau lebih sering disebut dengan Public goods. Public goods mempunyai karakteristik yaitu non-rivalrous dan non-excludable. Yang dimaksud dengan non-rivalrous ialah tidak ada persaingan dalam menggunakan barang tersebut dan non-excludable berarti tidak boleh ada diskriminasi terhadap warga (Taylor, 2012). Agar dapat dijangkau oleh seluruh pihak negaralah yang harus menyediakan barang-barang tersebut. Dalam konteks negara Indonesia, State-Owned Enterprise (SOE) ialah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sayangnya peran negara dalam menghadirkan Public Goods dalam tiga dekade terakhir mulai perlahan-lahan dilepas. Pelepasan perlahan-lahan dalam tanggung jawab menyediakan kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat merupakan bagian dari agenda neoliberalisme terkhususnya privatisasi. Dengan privatisasi, SOE dilepas dan dapat dikelola oleh swasta baik dalam negeri maupun luar negeri. Dengan diserahkannya kewajiban untuk mengadakan seluruh kebutuhan-kebutuhan dasar ke pihak swasta sudah sewajarnya public goods kemudian semakin mahal karena notabene pihak swasta memang mencari keuntungan.

David Harvey dalam bukunya Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis (terj.) mengatakan:

Neoliberalisme pada awalnya merupakan suatu teori ekonomi politik yang menyatakan bahwa kesejahteraan manusia paling bisa dicapai dengan cara meliberalisasikan kebebasan-kebebasan dan keterampilan-keterampilan enterprenuerurial individu dan menempatkan kebebasan dan keterampilan itu ke dalam suatu kerangka pranata yang dicirikan oleh hak milik pribadi yang kuat, pasar bebas, dan perdagangan bebas (Harvey, 2009)

Neoliberalisme sekarang telah menjadi ideologi pembangunan yang lebih ekstrem dari sebelumnya dan ditegakkan oleh institusi-institusi keuangan International.

Mansour Fakih dalam bukunya Bebas dari Neoliberalsime juga mengatakan:

Apa yang menjadi pendirian neoliberalisme sesungguhnya ditandai dengan karakter sebagai kebijakan pasar bebas yang mendorong perusahaan-perusahaan swasta dan pilihan konsumen berkembang, penghargaan atas tanggung jawab personal dan inisiatif kewiraswastaan, serta menyingkirkan birokrat dan parasit pemerintah yang tidak akan pernah mampu bekerja dengan efektif dan efisien meskipun di kembangkan (Fakih, Bebas dari Neoliberalisme, 2010).

Jelas pendapat dari Mansour Fakih ini ialah bagaimana melimpahkan tanggung jawab pemerintah ke pihak individu karena padangan pesimis terhadap pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah.

Sejalan dengan pendapat diatas, George Ritzer berpendapat peran pemerintah dalam prespektif neoliberalisme dalam bukunya Globalization The Essentials ialah:

Limited Government is that no government or government agency can do things as well as the market (the failure of the Soviet Union is seen as proof of that). Among other things, this leaves a government that is, at least theoretically, less able, or unable, to intervene in the market. It also presumably means a less expensive government, one that would need to collect less in taxes. This, in turn, would put more money in the hands of the public, especially the wealthier members of society who, in recent years, have benefited most from tax cuts (Ritzer, 2011).

Ritzer mengatakan bahwa dalam prespektif neoliberalisme peran pemerintah harus ditekan seminim mungkin karena pemerintah tidak bisa bekerja sebaik pasar dan individulah komponen yang terbaik dalam melakukan kegiatan perekonomian.

Kedudukan negara dalam kegiatan perekonomian ialah menciptakan dan melindungi eksistensi pranata yang dicirikan oleh hak milik pribadi yang kuat, perdagangan bebas, dan pasar bebas. Misalnya peran negara berupa menjamin nilai dan integrasi mata uang, membangun struktur dan fungsi militer pertahanan, kepolisian dan hukum yang dibutuhkan untuk melindungi hak-hak milik pribadi dan untuk menjamin agar pasar berjalan dengan semistisnya. Jika pasar tersebut belum tercipta maka negara harus menciptakan pasar tersebut, meskipun dengan aksi intervensi negara (Harvey, 2009). Begitulah peran negara dalam prespektif neoliberalisme, selain hal tersebut negara tidak boleh melakukan hal lain.

Untuk menyebarluaskan pemahaman ini, maka dibutuhkanlah institusi-institusi keuangan internasional yang berperan agar terjaminnya neoliberal ini. Disinilah peran-peran seperti IMF, World Bank (WB), dan World Trade Organisation dalam menyebarluaskan pemahaman neoliberalisme ke negara-negara yang menggunakan jasanya. IMF, World Bank, dan United States Treasury membuat menciptakan sebuah set aturan yang terbaik untuk mempromosikan pembangunan yaitu Washington Consensus (Stiglitz, 2007).  Nama dan konsep Washington Consensus ini pertama kali di perkenalkan oleh John Williamson seorang ekonom dari Institut untuk Ekonomi Interantional pada tahun 1989 dan 1990 (Darmaningtyas, Subkhan, & Panimbang, 2014).

Dalam Washington Consensus ada sepuluh anjuran yang disebut sebagai reformasi. Washington Consensuss inilah yang kemudian disebut sebagai kebijakan pasar bebas atau neoliberalisme. Kesepuluh ajaran tersebut ialah pertama, disiplin fiskal untuk memerangi kebijakan defisit anggaran. Kedua, anggaran pengeluaran untuk publik, kebijakan ini berupa memprioritaskan anggaran belanja pemerintah melalui pemotongan segala subsidi. Ketiga, pembaharuan pajak, yang berupa kelonggaran bagi para pengusaha untuk kemudahan pajak. Keempat, liberalisasi keuangan, yang berupa kebijakan bunga bank yang ditentukan oleh mekanisme pasar. Kelima nilai tukar uang yang kompptetif, berupa kebijakan untuk melepaskan nilai uang tanpa kontrol. Keenam, kebijakan untuk menyingkirkan segala bentuk hambatan yang dapat menganggu perdagangan bebas. Ketujuh, kebijakan untuk menyingkirkan segenap aturan pemerintah yang menghambat masuknya modal asing. Kedelapan, privatisasi, yakni kebijakan untuk memberikan semua pengelolaan perusahaan negara kepada pihak swasta. Kesembilan, deregulasi kompetisi. Dan yang terakhir ialah, intelectual property rights atau hak paten (Fakih, 2011).  Poin kedelapan dari konsensus ini sangat jelas menyangkut diserahkannya perusahaan-perusahaan negara ke pihak swasta.

Menindaklanjuti Washington Consensus, privatisasi juga didorong oleh Structural Adjusment Programs (SAP). Jim Glassman dan Padraig Carmody dalam tulisannya Structrural Adjusment in East and Southeast Asia Lessons from Latin America menjelaskan:

Structural adjustment is a policy package of “free market” economic reforms sponsored by the International Finansial Institutions. Initially structural adjustment programs (SAPs) were introduced to offset what were seen as temporary balance of payments problems in developing countries resulting from increased oil prices and interest rates in the late 1970s. However, with the debt crisis, which broke in 1982, structural adjustment programs became more widespread and long-lived than was initially anticipated (Glassman & Carmody, 2010).

SAP ini sendiri terbagi atas dua macam ekonomi makro dan masing-masing macam ini digunakan oleh IMF dan World Bank. Stablisasi berada dalam bidang IMF dan structural adjusment dimana untuk merekonstruksi ekonomi menuju orientasi ekspor berada di bawah bidang World Bank. Keduanya lebih dikenal dengan SAP (Glassman & Carmody, 2010).

Dijalankannya kebijakan privatisasi juga dapat berasalkan dari Letter of Intent (LoI) yang dikeluarkan oleh IMF. Sama halnya dengan SAP, LoI merupakan seperangkan kebijakan yang harus dilaksanakan oleh negara penerima.

Dengan demikian privatisasi ialah bagian yang tidak terpisah dari neoliberalisme, dimana peran pemerintah sedemikian mungkin harus disingkirkan. Peran pemerintah dalam sistem neoliberal haruslah sekecil mungkin dan yang bisa dilakukan hanyalah untuk mendukung kegiatan pasar bebas. Istilah deregulasi (menghilangkan peraturan untuk menjalankan bisnis), privatisasi (menjual perusahaan negara kepada pihak swasta), dan liberalisasi (menghilangkan batasan perdagangan dan hambatan arus modal) adalah bagian dari neoliberal itu sendiri. Sedangkan untuk memastikan berjalannya proses privatisasi ini terkhususnya negara-negara penerima dana dari IMF dan World Bank, digunakanlah SAP dan LoI.

Daftar Pustaka

Harvey, D. (2009). Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis (terj.). Yogyakarta: Ressist Book.

Fakih, D. M. (2010). Bebas dari Neoliberalisme. Yogyakarta: Inssist Press.

Ritzer, G. (2011). Globalization The Essentials. West Sussex: John Wiley & Sons.

Stiglitz, J. E. (2007). Making Globalization Work. London: Penguin Books.

Darmaningtyas, Subkhan, E., & Panimbang, F. (2014). Melawan Liberalisasi Pendidikan. Malang: Madani.

Fakih, D. M. (2011). Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Glassman, J., & Carmody, P. (2010). Structural Adjusment in East and Southeast Asia: Lesson from Latin America. In G. Ritzer, & Z. Atalay (Eds.), Readings in Globalization: Key Concepts and Major Debates (p. 120). West Sussex: Wiley-Blackwell.

Taylor, T. (2012). The Instant Economist. New York: Plume.

Balance of Power dalam Ilmu Hubungan International

[Peringatan! – Artikel ini hanya gambaran singkat dan pengantar untuk para pelajar atau peminat Ilmu Hubungan International. Tulisan ini membahas “Balance of Power” dalam ilmu hubungan international. Dilarang keras untuk mensalin artikel website ini untuk keperluan pribadi (tugas, dan lain-lain) tanpa sepengetahuan penulis. Jika ada hal yang kurang dimengerti atau ingin ditanyakan silahkan tinggalkan pesan di sini]

Dalam Ilmu Hubungan International tentunya sudah akrab dengan istilah Balance of Power atau perimbangan kekuatan. Konsep ini merupakan konsep yang sudah lumayan dan masih digunakan untuk melihat dinamika politik international sekarang ini. Dalam tulisan ini saya tidak bermaksud untuk memberikan sejarah singkat tentang Balance of Power tapi hanya menuliskan apa dan bagaimana Balance of Power itu sendiri. Persaingan antar kedua atau lebih negara atau aliansi tentu dapat dianalisis dengan konsep ini.

Balance of Power atau perimbangan kekuatan ialah gagasan yang sangat sering digunakan dalam membahas isu-isu hubungan international. Balance of Power menggambarkan bagaimana negara-negara saling berinteraksi dan saling mengimbangi dalam hal kekuataan. Balance of Power pertama kali di perkenalkan oleh Ernst Haas pada tulisannya The Balance of Power: Prescription, Concept, or Propaganda dalam jurnal World Politics.

Dalam jurnal tersebut  Ernst Haas menyebutkan bahwa Balance of Power mempunyai banyak artian, yaitu:[1]

  1. Balance dalam artian distribution of power Haas menyebutkan bahwa para negarawan ketika mengatakan “balance of power has shifted” yang dimaksud ialah lawan dari negaranya telah meningkatkan kekuatannya.
  2. Balance dalam artian equilibirium ialah formulasi antar kekuatan eksternal dan international antar negara yang bersaing atau aliansi negara yang setara
  3. Balance dalam artian hegemony, yan­­g mengatakan bahwa negara-negara bukanlah mencari kesimbangan tapi hegemoni. Tidak ada keamanan yang nyata selain negara kuat yang mempunyai potensi sebagai musuh. Yang dimaksud keamanan ialah ketika kekuatan negara lain lebih kecil.
  4. Balance dalam artian stability and peace, para pemikir dunia ideal tidak bermaksud mengartikan Balance of Power sebgai metode untuk menciptakan kondisi yang stabil dan damai, tetapi stabil dan damai itu sendiri lah Balance of Power
  5. Balance dalam artian instability and war, hal ini merupakan kontras dari sebelumnya. Balance of Power ialah perang, sedangkan damai identic dengan menyelesaikan seluruh isu yang ada dengan moral, ekonomi, dan ciri etnografi.
  6. Balance dalam artian power politics. Kekuasaan ialah kekuasaan murni dari politik atau yang disebut dengan Real Politic, dan Balance of Power telah bergabung menjadi satu konsep, konsep tentang negara yang bertahan dalam kompetitifnya dunia international akan permintaan menggunakan kekuasaan tanpa hambatan oleh pertimbangan moral.
  7. Balance dalam artian universal law of history. Apa yang dimaksud dengan Balance of Power ialah manifistasi insting primitif dari self defence yang menggabungkannya dengan seluruh urusan manusia, bangsa dan international.
  8. Balance dalam artian system and guide to policy making, ialah hanya equilibrium dalam kekuatan dalam ikatan anggota keluarga negara-negara yang akan membatasi mereka, ketika mereka menjadi kuat dan akan memaksakan kehendaknya ke pihak lain.

Menurut H.C. Palmer dan N. D. Perkins dalam bukunya International Relations, Balance of Power ialah:

the balance of power assumes that through shifting alliances and countervailing pressures no one power or combination of powers will be allowed to grow so strong as to threaten the security of the rest.[2]

Perimbangan kekuatan mengasumsikan bahwa perubahan aliansi dan tekanan yang menyimbangkan agar tidak ada satu kekuatan atau gabungan kekuatan yang dibiarkan berkembang semakin kuat hingga mengancam keamanan yang lainnya

Palmer dan Perkins meyakini bahwa besarnya kekuatan suatu negara menjadikannya sebagai ancaman untuk negara lain. Oleh karena itu akibat dari merasa terancam dari kekuatan dari negara tersebut, negara yang terancam kemudian membuat aliansi dengan negara lain untuk menyeimbangkan kekuatannya.

Sejalan dengan pendapat itu Inis L. Claude dalam bukunya Power and International Relations mengatakan bahwa Balance of Power ialah:

when any state or bloc becomes, or threatens to become, inordinately powerful, other states should recognise this as a threat to their security and respond by taking equivalent measures, individually and jointly, to enhance their power.[3]

ketika suatu negara atau blok menjadi ancaman atau tidak biasanya berkukatan, negara lain harus menyadarinya sebagai ancaman terhadap keamanannya dan menanggapinya dengan cara menyeratakan kekuatan baik secara individu maupun gabungan.

Dari kedua pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa Balance of Power ialah usaha suatu negara untuk mengimbangi kekuatan negara lain yang mengancam keamananya. Ancaman dapat berasal dari suatu negara atau blok kekuatan yang terdiri dari gabungan-gabungan negara. Ketika terdapat negara yang telah membangun kekuatan baik secara sendiri maupun dengan membangun blok atau aliansi, maka hal tersebut akan menjadi ancaman keamanan bagi negara-negara lain. Negara yang terancam inilah kemudian akan membangun kekuatan untuk menjaga keamanan negaranya kemudian. Untuk menyimbangi kekuatan yang membuat terasa terancam maka negara terancam kemudian akan membangun kekuatannya sendiri atau bergabung dengan suatu blok demi menghilangkan ancaman atau mengamankan diri sendiri.

Keadaan Balance of Power yang nyata ialah ketika terdapat dua atau lebih negara dan adanya negara yang lebih lemah. Sejarah mencatat bahwa kondisi Balance of Power yang terjadi dalam catatan sejarah kuno yang paling lampau ialah Perang Peloponnesian. Dimana masa Yunani Kuno terdapat kondisi Bipolarity yaitu dua kutub kekuatan besar yakni Athena dan Sparta. Keduanya merupakan kekuatan besar dibandingkan kota-kota lain yang berada dalam daerah Yunani. Negara-negara yang lain bekerja sama dengan Athena atau Sparta untuk mendapatkan perlindungan dari kekuatan salah satunya.

Kemudian Yunani memutuskan untuk membangun suatu aliansi bersama yaitu Liga Hellenic dan memberikan kewenangan terhadap Athena dan Sparta sebagai pemimpin liga tersebut. Liga Hellenic ini kemudian dibentuk pada tahun 492-477 SM untuk menandingi serangan dari Persia. Setelah Yunani berhasil mengusir serangan Persia, terdapat konflik kecil dalam tubuh liga tersebut. Athena mengekspansi wilayahnya sehingga mengambil wilayah kota kecil. Karena merasa terancam kota-kota kecil ini kemudian bergabung dengan Sparta untuk melindungi keamanan wilayah mereka. Akhirnya Sparta dan kota-kota kecil yang merasa terancam oleh sifat ekspansif Athena membuat suatu aliansi yaitu Liga Peloponnesia. Athena pun membangun aliansi untuk melakukan ekspansi. Akhirnya dua aliansi yang didalamnya terdapat Athena dan Sparta kemudian saling bertempur.[4]

Balance of Power mempunyai tipe-tipe yaitu unipolarity, bipolarity, dan multipolarity. Unipolarity ialah kondisi dimana hanya satu negara yang mempunyai kekuatan besar dibandingkan dengan kekuatan lain. Para penliti percaya bahwa Amerika Serikat adalah negara superpower dan tidak ada yang dapat menyainginya. Oleh karena itu kondisi kekuatan dunia sekarang terpusatkan oleh satu negara saja.[5]

Bipolarity adalah kondisi dimana terjadi pemusatan kekuatan di dua negara atau dua blok (aliansi). Kondisi terjadi ketika masa Perang Dunia II dimana Amerika Serikat dan Uni Soviet diyakini berada pada puncak kekuatan dibandingkan negara-negara lainnya. Walaupun beberapa peniliti tetap tidak sepakat jika Uni Soviet dapat disetarakan dengan Amerika Serikat karena jika diliat dari perekonomiannya Uni Soviet sangat jauh perbedaan kekayaannya dengan Amerika Serikat. Tetapi Uni Soviet dapat memicu terjadinya Arms Race dan juga membangun aliansi-aliansi untuk saling mengimbangi.[6]

Multipolarity adalah kondisi setidaknya terdapat tiga negara atau blok (aliansi) yang mempunyai kekuatan yang sangat besar. Hal ini terjadi pada abad 19 dimana beberapa kerajaan atau negara saling beraliansi satu sama yang lain untuk melawan kerajaan atau kekaisaran yang lebih besar.[7]

T. V. Paul, dalam artikelnya Introduction: The Enduring Axioms of Balance of Power Theory and Their Contemporary Relevance mengatakan bahwa

The ultimate purpose of any balancing strategy is to reduce or match the capabilities of a powerful state or a threatening actor, the various means that states adopt, besides increasing their military strength or forming alliances.[8]

Tujuan utama dari segala strategi penyimbangan ialah untuk mengurangi kapabilitas pertarungan dari negara yang sangat kuat atau aktor yang mengancam, berbagai arti yang lain ialah negara mengadaptasi selain meningkatkan kemampuan militer atau membuat aliansi.

Ada juga beberapa strategi dari Balance of Power menurut T.V. Paul yang dapat dilhat dari bagaimana balance itu kemudian terbentuk. Hal tersebut dapat dibentuk dengan Hard Balancing, Soft Balancing, dan Asymmetric Balancing.[9] Hard Balancing ialah strategi yang dilakukan oleh suatu negara yang berada dalam kondisi persaingan yang intens bersama negara lain. Negara yang bersaing ini kemudian akan meningkatkan kemampuan militernya dan juga membuat aliansi yang formal untuk menyimbangi lawannya.[10]

Soft Balancing ialah pembangunan aliansi secara diam-diam. Pembangunan aliansi secara diam-diam ini terjadi akibat suatu negara secara umum membangun perjanjian atau kesepahaman militer terbatas kepada negara lain untuk mengantisipasi potensi terjadinya negara yang mengancam atau negara yang sedang meningkatkan kekuatannya. Soft balancing biasanya berdasarkan peningkatan persenjataan terbatas, latihan gabungan sementara, atau berkolaborasi dalam institusi regional atau global. Soft balancing  ini dapat berubah menjadi hard balancing ketika terjadi persaingan yang lebih intens dan negara yang mempunyai power lebih memulai jadi ancaman.[11]

Asymmetric Balancing ialah usaha negara untuk menyimbangkan atau memberikan ancaman tidak langsung oleh sub-negara, seperti kelompok teroris yang tidak mempunyai kemampuan untuk menantang angkatan perang suatu negara secara kapabilitas ataupun strategi. Asymmetric balancing juga dikatakan sebagai sisi balik koin yaitu usaha yang dilakukan oleh sub-negara dan yang mereka sponsori untuk menantang dan melemahkan negara yang mapan.

Daftar Pustaka:

[1] Ernst B. Haas, 1953. “The Balance of Power”. World Politics Vol. 5 No. 4. Cambridge: Cambridge University Press. Hal. 447-455

[2] Michael Sheehan, 1996. The Balance of Power. London: Routledge. Hal. 3

[3] Ibid.

[4] Robert Jackdon & George Sorensen, 2014. Pengantar Studi Hubungan International. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 116

[5] Martin Griffith & Terry O’ Gallaghan Op Cit. 13-14

[6] Ibid

[7] Ibid

[8] T.V. Paul, James J. Writz, and Michael Fortman, 2004. Balance of Power Theory and Practice in 21th Century. Stanford: Stanford University Press. Hal. 2-3

[9] Ibid. hal. 3

[10] Ibid.

[11] Ibid.