Peraturan, Cadangan, dan Tanah (Freeport Vs Indonesia)

[Peringatan! – Dilarang keras untuk mensalin artikel website ini untuk keperluan pribadi (tugas, dan lain-lain) tanpa sepengetahuan penulis. Jika ada hal yang kurang dimengerti atau ingin ditanyakan silahkan tinggalkan pesan di sini]

Permasalahan PT. Freeport Indonesia (selanjutnya disebut Freeport) sejak 2015 sangat sering terdengar, belum lagi dua pekan terakhir dukungan-dukungan berupa poster, tulisan, dan video ramai di media sosial mendukung kebijakan pemerintah sebagai bentuk berdaulatnya negara. Hal ini cukup mengingatkan saya akan final AFF terakhir, saya bukan peminat sepak bola tapi ramai-ramai pembicaraan dengan semangat satu bangsa sangat kental saya liat di media sosial, berita, dan juga kehidupan sehari-hari. Tapi sayangnya dua hal ini berbeda, permasalahan ini tidak hanya melibatkan Indonesia dan Freeport, ini juga menyangkut tanah Papua.

Peraturan dan Cadangan

Sejak akhir dekade 1960an, sejarah Indonesia agak sulit dipisahkan dari Freeport. Dalam dekade ini, Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto mulai bangkit, dan UU No. 1 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan ditetapkan. Pada tahun 1967, perjanjian Kontrak Karya (KK) ditanda tangani oleh kedua pihak antar Indonesia dan Pemerintah. Dalam KK disebutkan bahwa Freeport diberikan kewenangan untuk mengelola 1.000 hektar untuk dikelola. Perjanjian ini kemudian dapat diperpanjang sebanyak dua kali, dan bersifat Lex Specialis (ketentuan khusus yang mengesampingkan ketentuan umum).

Tahun 2009 pemerintah mengeluarkan UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba. Dalam UU ini perusahaan penambang tidak dapat lagi mengekspor bijih atau konsentrat, oleh karena itu seluruh hasil tambang harus dikelola dulu menjadi katoda melalui smelting dan refining. Lima tahun kemudian keluar PP No. 77 tahun 2014, dalam pasal 7c mengatur bahwa saham yang boleh dimiliki oleh pihak asing dalam kegiatan eksplorasi ialah 75% dan produksi sebanyak 70% dan mengajukan perpanjangan dua tahun sebelum berakhir. Setahun kemudian mengingat KK Freeport akan berakhir pemerintah mengajukan lima syarat untuk perpanjangan pertama, melakukan perpanjangan dua tahun sebelum berakhir. Kedua, meningkatkan muatan lokal (tanggung jawab CSR diwilayah yang berdampak). Ketiga, melakukan divestasi sebanyak 30% secara bertahap. Keempat, meningkatkan royalti tembaga dari 0,5% menjadi 45, emas dari 1% menjadi 3,75%, dan perak 3,25%. Dan terakhir, membangun smelter sebelum tahun 2021.

Tidak berhenti dengan itu, pemerintah mengeluarkan PP No.1 tahun 2017 yang mengatur Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) lebih lanjut. IPUK mewajibkan divestasi sebanyak 51% secara bertahap, permohonan perpanjangan paling cepat 5 tahun sebelum berakhir waktu izin usaha, pemerintah mengatur harga patokan penjualan minerba, mewajibkan pemegang KK diganti menjadi IUPK, dan pemegang KK tidak lagi mempunyai izin mengekspor konsentrat yang akan diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.

Kebijakan ini sentak membuat hubungan pemerintah dan Freeport memanas. Beberapa kali melakukan tarik ulur, Freeport menginginkan adanya jaminan akan diperpanjangnya KK dan membangun smelter, sedangkan pemerintah menginginkan Freeport mengikuti PP No. 1 tahun 2017. Sebelumnya, pemurnian bijih dan konsentrat Freeport dilakukan di dua tempat yakni + 30% PT. Smelting di Gresik dan + 60% Atlantic Cooper di Spanyol (data 2002). Ketidaksepakatan ini kemudian disampaikan oleh Freeport langsung oleh Presiden dan CEO Richard C Adkerson dalam konferensi Pers di Jakarta dan akan mengajukan Indonesia dan Arbitrase Internasional, Investor-state Dispute Settlement (ISDS). Freeport akan menggunakan ISDS tempat dimana perusahaan swasta menuntut pemerintah yang melakukan pelanggaran dengan cara menantang hukum, regulasi, atau peraturan administratif yang dikeluarkan. Materi yang rencanakan digugat ialah UU Minerba tahun 2009 dan status KK yang dipegang.

Membangun smelter memerlukan investasi yang cukup besar, jika Freeport harus membangun smelter untuk mengelola seluruh hasil tambang maka memerlukan USD 2,3 juta (setara dengan Rp.31 triliun). Sementara Freeport harus mengubah cara berproduksi hasil tambangnya dari Open Pit menjadi Underground Mining yang memerlukan dana USD 81 milyar (setara Rp. 1.215 triliun). Kondisi mengalihkan cara berproduksi dan ketidakpastian keberlanjutan Freeport membuat investor sulit untuk mengambil keputusan karena keamanan investasi yang masih terombang-ambing.

Menurut Freeport, KK mempunyai status Les Spesialis derogat Lex Generalis sehingga memaksakan mengikuti UU dan PP adalah sebuah pelanggaran atas kesepakatan. Namun beberapa ahli mengatakan Les Spesialis hanya berlaku dengan peraturan setingkat, sedangkan KK yang dikantongi oleh Freeport tidak dapat dikatakan setara dengan UU hanya karena menyerupai proses pembuatan UU (melibatkan kementerian terkait dan persetujuan DPR-RI).

Kementerian ESDM mengatakan bahwa cadangan emas yang dikelola oleh Freeport masih sekitar 1.800 ton. Kontribusi pemasukan mineral dan tambang antara Newmont dan Freeport terbilang cukup kurang dibandingkan dengan BUMN. Kondisi Indonesia pada saat melakukan perjanjian kerja sama tahun 1967 jauh berbeda dengan sekarang. Walaupun kondisi yang berbeda, Indonesia harus tetap mencari investor asing untuk mengelola tambang tersebut.

Tanah tempat Freeport berada

Cukup untuk membicarakan perseteruan Indonesia dan Freeport. Setelah berhasil merebut Papua dari Belanda tahun 1963, Papua tidak langsung resmi bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Papua baru resmi masuk ke dalam NKRI pada tahun 1969, itu pun setelah melalui dinamika yang panjang. Artinya sebelum resmi masuk ke dalam NKRI, pemerintah terlebih dahulu menyepakati KK. Akhirnya, cadangan Gresberg, tanah suku Amungme dan beberapa suku lain secara paksa direbut. Benar, Freeport telah merekrut dan mengganti rugi tanah yang direbut, tapi satu yang jelas hal tersebut tidak akan pernah cukup. Tidak adanya perjanjian dari awal dengan penduduk setempat membuat hal ini sulit untuk di taksir, belum lagi permasalahan tanah adat tidak pernah selesai dengan angka-angka.

Pemerintahan Provinsi Papua telah meminta saham untuk pemerintah daerah, tapi mengetahui keterbatasan, sulit untuk mendapatkan saham pertambangan tersebut. Namun mengadakan smelter di Papua tidaklah sesulit yang diumbar-umbar oleh Freeport. Alasan memilih bentuk negara kesatuan tidak terlepas dari cita-cita ingin memeratakan perekonomian dan pertumbuhan di Indonesia, namun pembangunan smelter yang berkembang baik pemerintah dan Freeport hanya di wilayah Gresik saja. Hal tersebut karena kedekatan Freeport dan Mitsubishi Corp. yang memang telah bersama-sama mengelola PT. Smelting. Seharusnya perencanaan pembangunan smelter dilaksanakan di Papua, karena akan membangun industri, dan dari industri itu diharapkan meningkatkan baik lapangan kerja maupun pendapatan daerah. Jika smelter dibangun di Papua, maka hasil ikutan tambang utama dari Gresberg seperti gypsum (bahan semen), copper slag (bahan semen dan beton), anode slime (bahan pemurnian emas dan perak), dan copper tellaride (semi konduktor) dapat dikelola. Dalam kesempatan ini jika memang harus melanjutkan pengelolaan Gresberg selama 20 tahun lagi atau dikelola dengan pihak lain, maka kesempatan meningkatkan perekonomian di bagian timur Indonesia dengan pembangunan industri ikutan tambang hasil Gresberg, bukan lagi wacana pemerataan pembangunan yang merata melainkan aktualisasi dari salah satu cita-cita negara kesatuan.

Masih banyak rintangan dan hal-hal yang tak terduga ke depan. Skenario-skenario apakah Gresberg kembali ke tangan Indonesia, atau dilanjutkan oleh pengelolanya sekarang, apakah masalah ini akan menjadi sengketa internasional dan menyeret aktor-aktor lain ke dalam polemik ini. Tapi satu yang pasti narasi nasionalisme yang berkembang jangan sampai melupakan tanah Freeport berada.

Daftar Pustaka:

Harian Kompas, 7 July 2015, Pertambangan – Investasi Freeport Tidak Boleh Melanggar Aturan

Harian Kompas, 19 Oktober 2015, Analisis Ekonomi – Freeport dan Masa Depan Investasi

Harian Kompas, 23 November 2015 Analisis Ekonomi – Kasus Freeport dan Kepastian Investasi

Harian Kompas, 9 Desember 2015 Pertambangan – Warisan (daripada) Freeport

Harian Kompas, 28 Desember 2015 Industri Mineral – Papua Berharap Pemerintah Pastikan Kontrak Karya Freeport

Harian Kompas, 31 Desember 2015 Kontrak Karya Freeport

Harian Kompas, 1 February 2016 Simalakama Saham Freeport

Harian Kompas, 5 Oktober 2016 Masalah Industrial – Perundingan Pekerja dan Manajemen Freeport Gagal Lagi

Harian Kompas, 15 Desember 2016 Pertambangan – Ujian dari Freeport

Harian Kompas, 11 January 2017 Pembangunan Smelter Freeport

Harian Kompas, 12 January 2017Freeport, Sejarah Kelam Amerika di Indonesia

Harian Kompas, 30 January Pertambangan – Freeport Tunggu Kajian Internal

HARD BALANCING RUSIA DAN TURKI DALAM KONFLIK SURIAH 2012-2015

[Peringatan! – Artikel ini hanya gambaran singkat dan pengantar untuk para pelajar atau peminat Ilmu Hubungan International. Tulisan ini membahas “Hard Balancing Rusia dan Turki dalam Konflik Suriah 2012-2015” dalam ilmu hubungan international. Dilarang keras untuk mensalin artikel website ini untuk keperluan pribadi (tugas, dan lain-lain) tanpa sepengetahuan penulis. Jika ada hal yang kurang dimengerti atau ingin ditanyakan silahkan tinggalkan pesan di sini]

Abstrak

Konflik di Suriah yang berlangsung sejak tahun 2011 telah melibatkan
aktor eksternal termasuk Rusia dan Turki dalam bentuk hard balancing
dengan mendukung pihak berbeda dalam konflik Suriah. Tulisan ini
bertujuan untuk mendeskripsikan latar belakang, bentuk, serta dampak
rivalitas hard balancing Rusia dan Turki dalam konflik Suriah. Kehadiran
Rusia dalam konflik ini untuk mendukung rezim Bashar al Assad secara
politik dan militer dan melindungi kepentingan militer dan ekonominya di
kawasan, sedangkan Turki memberikan dukungan terhadap kelompok
pemberontak. Rivalitas kedua negara tersebut mengakibatkan konflik
Suriah semakin kompleks dan berkepanjangan.

Jurnal Wanua Volume 1 Number 3, Desember 2016

Jurnal Wanua dengan judul “Hard Balancing Rusia dan Turki dalam Konflik Suriah 2012 – 2015” dapat diakses disini

Privatisasi dalam Perspektif Neoliberalisme

[Peringatan! – Artikel ini hanya gambaran singkat dan pengantar untuk para pelajar atau peminat Ilmu Hubungan International. Tulisan ini membahas “Privatisasi dalam Perspektif Neoliberalisme” dalam ilmu hubungan international. Dilarang keras untuk mensalin artikel website ini untuk keperluan pribadi (tugas, dan lain-lain) tanpa sepengetahuan penulis. Jika ada hal yang kurang dimengerti atau ingin ditanyakan silahkan tinggalkan pesan di sini]

Barang-barang yang kita gunakan sehari-hari seperti jalanan, listrik, air, layanan kesehatan, layanan pendidikan, dan juga transportasi merupakan kebutuhan dasar masyarakat yang disediakan oleh pemerintah atau lebih sering disebut dengan Public goods. Public goods mempunyai karakteristik yaitu non-rivalrous dan non-excludable. Yang dimaksud dengan non-rivalrous ialah tidak ada persaingan dalam menggunakan barang tersebut dan non-excludable berarti tidak boleh ada diskriminasi terhadap warga (Taylor, 2012). Agar dapat dijangkau oleh seluruh pihak negaralah yang harus menyediakan barang-barang tersebut. Dalam konteks negara Indonesia, State-Owned Enterprise (SOE) ialah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sayangnya peran negara dalam menghadirkan Public Goods dalam tiga dekade terakhir mulai perlahan-lahan dilepas. Pelepasan perlahan-lahan dalam tanggung jawab menyediakan kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat merupakan bagian dari agenda neoliberalisme terkhususnya privatisasi. Dengan privatisasi, SOE dilepas dan dapat dikelola oleh swasta baik dalam negeri maupun luar negeri. Dengan diserahkannya kewajiban untuk mengadakan seluruh kebutuhan-kebutuhan dasar ke pihak swasta sudah sewajarnya public goods kemudian semakin mahal karena notabene pihak swasta memang mencari keuntungan.

David Harvey dalam bukunya Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis (terj.) mengatakan:

Neoliberalisme pada awalnya merupakan suatu teori ekonomi politik yang menyatakan bahwa kesejahteraan manusia paling bisa dicapai dengan cara meliberalisasikan kebebasan-kebebasan dan keterampilan-keterampilan enterprenuerurial individu dan menempatkan kebebasan dan keterampilan itu ke dalam suatu kerangka pranata yang dicirikan oleh hak milik pribadi yang kuat, pasar bebas, dan perdagangan bebas (Harvey, 2009)

Neoliberalisme sekarang telah menjadi ideologi pembangunan yang lebih ekstrem dari sebelumnya dan ditegakkan oleh institusi-institusi keuangan International.

Mansour Fakih dalam bukunya Bebas dari Neoliberalsime juga mengatakan:

Apa yang menjadi pendirian neoliberalisme sesungguhnya ditandai dengan karakter sebagai kebijakan pasar bebas yang mendorong perusahaan-perusahaan swasta dan pilihan konsumen berkembang, penghargaan atas tanggung jawab personal dan inisiatif kewiraswastaan, serta menyingkirkan birokrat dan parasit pemerintah yang tidak akan pernah mampu bekerja dengan efektif dan efisien meskipun di kembangkan (Fakih, Bebas dari Neoliberalisme, 2010).

Jelas pendapat dari Mansour Fakih ini ialah bagaimana melimpahkan tanggung jawab pemerintah ke pihak individu karena padangan pesimis terhadap pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah.

Sejalan dengan pendapat diatas, George Ritzer berpendapat peran pemerintah dalam prespektif neoliberalisme dalam bukunya Globalization The Essentials ialah:

Limited Government is that no government or government agency can do things as well as the market (the failure of the Soviet Union is seen as proof of that). Among other things, this leaves a government that is, at least theoretically, less able, or unable, to intervene in the market. It also presumably means a less expensive government, one that would need to collect less in taxes. This, in turn, would put more money in the hands of the public, especially the wealthier members of society who, in recent years, have benefited most from tax cuts (Ritzer, 2011).

Ritzer mengatakan bahwa dalam prespektif neoliberalisme peran pemerintah harus ditekan seminim mungkin karena pemerintah tidak bisa bekerja sebaik pasar dan individulah komponen yang terbaik dalam melakukan kegiatan perekonomian.

Kedudukan negara dalam kegiatan perekonomian ialah menciptakan dan melindungi eksistensi pranata yang dicirikan oleh hak milik pribadi yang kuat, perdagangan bebas, dan pasar bebas. Misalnya peran negara berupa menjamin nilai dan integrasi mata uang, membangun struktur dan fungsi militer pertahanan, kepolisian dan hukum yang dibutuhkan untuk melindungi hak-hak milik pribadi dan untuk menjamin agar pasar berjalan dengan semistisnya. Jika pasar tersebut belum tercipta maka negara harus menciptakan pasar tersebut, meskipun dengan aksi intervensi negara (Harvey, 2009). Begitulah peran negara dalam prespektif neoliberalisme, selain hal tersebut negara tidak boleh melakukan hal lain.

Untuk menyebarluaskan pemahaman ini, maka dibutuhkanlah institusi-institusi keuangan internasional yang berperan agar terjaminnya neoliberal ini. Disinilah peran-peran seperti IMF, World Bank (WB), dan World Trade Organisation dalam menyebarluaskan pemahaman neoliberalisme ke negara-negara yang menggunakan jasanya. IMF, World Bank, dan United States Treasury membuat menciptakan sebuah set aturan yang terbaik untuk mempromosikan pembangunan yaitu Washington Consensus (Stiglitz, 2007).  Nama dan konsep Washington Consensus ini pertama kali di perkenalkan oleh John Williamson seorang ekonom dari Institut untuk Ekonomi Interantional pada tahun 1989 dan 1990 (Darmaningtyas, Subkhan, & Panimbang, 2014).

Dalam Washington Consensus ada sepuluh anjuran yang disebut sebagai reformasi. Washington Consensuss inilah yang kemudian disebut sebagai kebijakan pasar bebas atau neoliberalisme. Kesepuluh ajaran tersebut ialah pertama, disiplin fiskal untuk memerangi kebijakan defisit anggaran. Kedua, anggaran pengeluaran untuk publik, kebijakan ini berupa memprioritaskan anggaran belanja pemerintah melalui pemotongan segala subsidi. Ketiga, pembaharuan pajak, yang berupa kelonggaran bagi para pengusaha untuk kemudahan pajak. Keempat, liberalisasi keuangan, yang berupa kebijakan bunga bank yang ditentukan oleh mekanisme pasar. Kelima nilai tukar uang yang kompptetif, berupa kebijakan untuk melepaskan nilai uang tanpa kontrol. Keenam, kebijakan untuk menyingkirkan segala bentuk hambatan yang dapat menganggu perdagangan bebas. Ketujuh, kebijakan untuk menyingkirkan segenap aturan pemerintah yang menghambat masuknya modal asing. Kedelapan, privatisasi, yakni kebijakan untuk memberikan semua pengelolaan perusahaan negara kepada pihak swasta. Kesembilan, deregulasi kompetisi. Dan yang terakhir ialah, intelectual property rights atau hak paten (Fakih, 2011).  Poin kedelapan dari konsensus ini sangat jelas menyangkut diserahkannya perusahaan-perusahaan negara ke pihak swasta.

Menindaklanjuti Washington Consensus, privatisasi juga didorong oleh Structural Adjusment Programs (SAP). Jim Glassman dan Padraig Carmody dalam tulisannya Structrural Adjusment in East and Southeast Asia Lessons from Latin America menjelaskan:

Structural adjustment is a policy package of “free market” economic reforms sponsored by the International Finansial Institutions. Initially structural adjustment programs (SAPs) were introduced to offset what were seen as temporary balance of payments problems in developing countries resulting from increased oil prices and interest rates in the late 1970s. However, with the debt crisis, which broke in 1982, structural adjustment programs became more widespread and long-lived than was initially anticipated (Glassman & Carmody, 2010).

SAP ini sendiri terbagi atas dua macam ekonomi makro dan masing-masing macam ini digunakan oleh IMF dan World Bank. Stablisasi berada dalam bidang IMF dan structural adjusment dimana untuk merekonstruksi ekonomi menuju orientasi ekspor berada di bawah bidang World Bank. Keduanya lebih dikenal dengan SAP (Glassman & Carmody, 2010).

Dijalankannya kebijakan privatisasi juga dapat berasalkan dari Letter of Intent (LoI) yang dikeluarkan oleh IMF. Sama halnya dengan SAP, LoI merupakan seperangkan kebijakan yang harus dilaksanakan oleh negara penerima.

Dengan demikian privatisasi ialah bagian yang tidak terpisah dari neoliberalisme, dimana peran pemerintah sedemikian mungkin harus disingkirkan. Peran pemerintah dalam sistem neoliberal haruslah sekecil mungkin dan yang bisa dilakukan hanyalah untuk mendukung kegiatan pasar bebas. Istilah deregulasi (menghilangkan peraturan untuk menjalankan bisnis), privatisasi (menjual perusahaan negara kepada pihak swasta), dan liberalisasi (menghilangkan batasan perdagangan dan hambatan arus modal) adalah bagian dari neoliberal itu sendiri. Sedangkan untuk memastikan berjalannya proses privatisasi ini terkhususnya negara-negara penerima dana dari IMF dan World Bank, digunakanlah SAP dan LoI.

Daftar Pustaka

Harvey, D. (2009). Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis (terj.). Yogyakarta: Ressist Book.

Fakih, D. M. (2010). Bebas dari Neoliberalisme. Yogyakarta: Inssist Press.

Ritzer, G. (2011). Globalization The Essentials. West Sussex: John Wiley & Sons.

Stiglitz, J. E. (2007). Making Globalization Work. London: Penguin Books.

Darmaningtyas, Subkhan, E., & Panimbang, F. (2014). Melawan Liberalisasi Pendidikan. Malang: Madani.

Fakih, D. M. (2011). Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Glassman, J., & Carmody, P. (2010). Structural Adjusment in East and Southeast Asia: Lesson from Latin America. In G. Ritzer, & Z. Atalay (Eds.), Readings in Globalization: Key Concepts and Major Debates (p. 120). West Sussex: Wiley-Blackwell.

Taylor, T. (2012). The Instant Economist. New York: Plume.

Book Review: Prisoner of Geography

Judul Buku     : Prisoners of Geography
Penulis            : Tim Marshall
Penerbit         : Elliot and Thompson
Tahun              : 2016
Jumlah Hal.    : xvi + 303

prisoners-of-geography.jpg

Sudah lama saya tidak membaca sesuatu tentang Geopolitik. Mungkin setelah melulusi mata kuliah Geopolitik pada tahun 2012 saya tidak pernah lagi membaca tentang itu. Pada saat mencari-cari buku di Waterstone dekat UCL mata saya langsung tertuju pada satu meja dimana meja-meja tersebut adalah tempat buku yang sedang diskon. Pada saat melihat koleksi buku-buku itu saya mendapati buku Prisoners of Geography dengan lanjutan ten maps that tell you everything you need to know about global politics, tanpa berpikir panjang langsung saja saya ambil buku tersebut.

Prisoners of Geography akan membuka wawasan pembacanya tentang pentingnya kondisi geography suatu negara sehingga akan menentukan bagaimana politik luar negeri negara tersebut selanjutnya. Di era sekarang dimana banyak orang yang mengatakan bahwa batas antar negara sudah kabur, jika melihat dengan pandangan dari geopolitik tentunya ini tidaklah sepenuhnya benar. Batas negara yang natural adalah contoh yang dapat dilihat, negara yang dipisahkan dengan pegunungan seperti India-Tiongkok dan Cile-Argentina tentu mempengaruhi sejarah dan kerja sama bilateral negara tersebut.

Buku ini membahas berdasarkan wilayah-wilayah, wilayah-wilayah yang dibahas ialah Russia, Tiongkok, Amerika Serikat, Eropa Barat, Afrika, Timur Tengah, India dan Pakistan, Korea dan Jepang, Amerika Latin, dan Kutub Utara. Namun dengan banyaknya wilayah tersebut tidak semua negara-negara yang ada dapat dibahas dalam buku ini. Wilayah yang dibahas negara yang telah menarik perhatian masyarakat international selama 3 dekade terakhir.

Rusia sebagai negara dengan wilayah terluas yang mempunyai 11 zona waktu berbeda dan berada di bagian utara dunia mempunyai sejumlah permasalahan atas kondisi geografinya. Kondisi geografi Rusia adalah salah satu permasalahan yang rumit dihadapi. Kondisi wilayah Rusia secara umum merupakan dataran yang dinamakan Dataran Eropa dan Dataran Siberia Barat, kedua dataran tersebut dipisahkan oleh Pegunungan Ural dari batas selatan hingga batas utara Rusia. Dataran ini merupakan ancaman atas keamanan Rusia, oleh karena itu Rusia dengan agresif berusaha untuk mengambil wilayah Ossetia Selatan dan Crimea Ukraina, juga berusaha agar Polandia tetap dibawah pengaruh Rusia. Ketiga wilayah tersebut sangatlah penting demi menjaga keamanan atas ancaman negara-negara barat. Ossetia Selatan dan Polandia merupakan halangan alam terakhir bagi pasukan yang ingin menginvasi Rusia. Jika berhasil melewati kedua wilayah tersebut maka sudah tidak ada halangan yang berarti lagi untuk menuju Moscow karena hanya dataran saja hingga sampai ke kota tersebut.

Harapan Rusia untuk menjadi negara adidaya sangat sulit dicapai dengan adanya permasalahan akses atas laut. Rusia mendapatkan kendala yang serius dalam mengelola pelabuhannya. Pelabuhan di sebelah utara hanya dapat beroperasi selama 3 bulan dalam satu tahun. Pelabuhan terbesar Rusia berada di Vladivostok, bagian Rusia yang berbatas langsung dengan Korea dan Jepang sedangkan pelabuhan yang berada di selatan Rusia mempunyai hambatan sendiri karena aksesnya.

Lain halnya dengan Tiongkok, sebagai negara yang bangkit dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat, Tiongkok telah berusaha untuk mengamankan perbatasan disekitarnya yang juga diklaim dengan negara lain.

Tiga sungai besar yang berada di Tiongkok yakni Sungai Kuning, Sungai Mekong, dan Sungai Yangtze mempunyai peran penting dalam peradaban masyarakat Tiongkok. Ketiga sungai ini tidak hanya mensuburkan tanah disekitranya namun juga digunakan untuk transportasi barang-barang. Sangat pentingnya sungai yang berada di Tiongkok ini, dua sungai terbesar di Tiongkok yaitu Sungai Kuning dan Sungai Yangtze dibuatkan Grand Canal yaitu sungai buatan manusia yang mehubungkan kedua sungai untuk kepentingan kesejahteraan ekonomi.

Tiongkok mempunyai beberapa perbatasan dengan negara yang mempunyai kekuatan besar didunia sekarang ini dan beberapanya ialah Jepang, Rusia, dan India. Tiongkok dan India mempunyai sedikit pengalaman perang, hal itu disebabkan adanya natural border yaitu pegunungan Himalaya. Dengan adanya natural border ini, hubungan Tiongkok dan India tidak terlalu mengkhawatirkan, perbedaan Tiongkok dan India hanya pada wilayah Himalaya dimana terdapat sumber air sungai Mekong dan sumber mata air dan ini juga menjadikan wilayah Himalaya sebagai water tower Tiongkok.

Berbeda halnya dengan perbatasan Jepang dan negara-negara Asia Tenggara. Laut China Selatan dan Laut China Timur mempunyai permasalahan yang cukup rumit beberapa dekader terkahir. Tiongkok memandang pentingnya Laut China Selatan sebagai wilayah yang strategis karena merupakan jalur perdagangan Internasional dan akan menjadi lebih strategis lagi jika Tiongkok menguasainya jika dalam keadaan perang, terlebih lagi terdapat sumber daya alam di kepulauan Paracel dan juga kepulauan Spartly. Sedangkan Laut China Timur ***

Amerika Serikat sekarang terdiri dari bekas-bekas wilayah penajajahan dan membeli wilayah dari tetangganya. Pada abad 19 ketika kerajaan Inggris telah pergi Perancis menyerahkan Lousiana. Di Eropa, Spanyol kualahan berperang dengan Napoleon dan berdampak pada penyerahaan Flordia ke AS. Di abad 19 juga AS membeli California dan Texas dari Meksiko pada masa pemerintahan Presiden James Monroe. Akhir abad 19 AS membeli Alaska dari Rusia, pada saat itu AS hanya membeli dataran luas yang terdiri dari es dan salju.

AS terbagi menjadi 3 bagian yang dipisahkan oleh pegunungan Appalachian dan Pegunungan Rocky. Cabang sungai Missisipi sangat besar, bahkan dapat mengairi seluruh wilayah AS bagian tengah yang berada di antara Appalachian dan Pegunungan Rocky, tidak hanya untuk pengairan sungai ini juga dapat dijadikan untuk transportasi barang-barang yang ada dan sungai ini bermuara di Teluk Meksiko. Perkembangan dari Amerika Serikat ditanah sendiri tidak banyak dibicarakan, yang dikawal ialah perkembangan terhadap kebijakan Amerika Serikat dalam konstalasi politik global seperti adanya armada angkatan laut di Arab Saudi, Jepang, dan Jerman. Militer Amerika Serikat hadir di Jerman dan Jepang karena perjanjian Perang Dunia II dan menjamin kemananan

Benua Afrika mempunyai tantangan tersendiri terhadap kondisi geografinya. Sungai yang merupakan hal penting dalam sejarah perdagangan masing-masing benua atau negara seperti yang sudah disebutkan sebelumnya tidak berpihak ke benua Afrika. Hampir keseluruhan sungai yang berada di Afrika tidak dapat gunakan untuk berdagang. Sungai-sungai tersebut memang dapat digunakan untuk kapal besar namun sungai-sungai tersebut tidak terhubung. Tidak terhubungnya sungai tersebut juga memberikan dampak kepada putusnya hubungan sosial penduduk yang berada di Afrika yang mengakibatkan banyaknya suku, dan berbagai macam budaya dan bahasa.

Pentingnya sungai untuk peradaban tidak hanya untuk perdagangan saja. Sungai juga merupakan sumber air bersih untuk negara-negara Afrika, yang sebagian besar mempunyai iklim Tropis. Permasalahan Ethopia dan Mesir dalam mengelola aliran sungai Nile, serta masuknya investor dari Tiongkok membuat masalah ini semakin pelik. Tiongkok membangun bendungan untuk Ethopia sebagai sumber energi dan juga menjadi cadangan air. Tetapi dengan dibangunnya bendungan tersebut, jelas aliran Sungai Nil yang melewati Ethopia berkurang. Hal ini tentu menjadi masalah bagi pemerintah Mesir.

Perbatasan negara-negara di Afrika bermula dari penjajahan oleh bangsa Eropa. Mereka membuat map dan menarik garis, guna mengidentifikasi bagaimana kekuasaan telah berkuasa, pasukan militer, dan para pebisnis telah mengeksplorasi wilayah yang ada di map dan bagaiaman kondisi masyarakat merasa hidup diwilayahnya. Hal tersebut membuat banyak penduduk Afrika merasa terpenjara oleh kondisi geography nya akibat bagi-bagi lahan yang dilakukan oleh para penjajah Eropa.

Mesopotamia, sebutan untuk tanah diantara dua sungai yakni Euphrates dan Tigris. Negara-negara yang berada diantara atau menyentuh dua sungai tersebut ialah Israel, Jordan, Suriah, Iraq, Kuwait, Oman, Yemen dan sebagian besar Arab Saudi.

Saat Kekairasan Ottoman mulai hancur, pemerintah Inggris dan Perancis mempunyai ide yang berbeda melihat kehancuran tersebut. Perbedaan tersebut disatukan dengan perjanjian dibagi duanya wilayah utara-selatan. Wilayah bagian utara dikuasai oleh Perancis dan Inggris meng-hegemoni wilayah Selatan ketika Ottoman telah hancur. Perjanjian kedua negara tersebut kemudian disebut Sykes-Picot (nama belakang diplomat Perancis dan Inggris). Kedua negara tersebut menjanjikan kemerdekaan kepada masing-masing kepala suku tetapi tidak menjalankannya. Salah satu akibat munculnya ekstrimisme dan kekerasan dibekas wilayah tersebut tidak lain karena tidak ditepatinya janji kedua negara ini.

Permasalahan Israel juga mengambil peran penting dalam dinamika Timur Tengah. Pada abad 20, pemerintah Inggris mendukung agar terbentuknya Tanah Air Yahudi di wialayh Palestina dan membeli tanah dari negara-negara Arab. Setelah Perang Dunia Kedua dan kejadian Holocaust, para Yahudi semakin banyak mengungsi di wilayah tersebut dan akhirnya hubungan antar Yahudi dan Arab mencapai titik puncak, merasa tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut pemerintah Inggris menyerahakan ke PBB pada tahun 1948. PBB mempuyai solusi untuk membagi dua wilayah tersebut, para Yahudi setuju tetapi bangsa Arab sependapat menolak. Ternyata Mesir, Jordan, dan Suriah masih menganggap bahwa wilayah yang diduduki oleh Palestina merupakan wilayah masing-masing negara tersebut. Ketika memang Yahudi dan Israel telah tiada maka wilayah tersebut akan di klaim oleh negara-negara yang berbatasan langsung. Oleh karena itu negara-negara yang menerima pengungsi Palestina tidak memberikan kewarganegaraan terhadap para pengungsi tersebut dan tetap mencapnya sebagai pengungsi walaupun telah mempunyai keturunan.

Dataran Asia Selatan mempunyai keunikan sendiri dalam upaya penguasaan wilayah tersebut. India, Pakistan, dan Bangladesh tidak pernah secara penuh dikuasai oleh upaya penajajahan, bahkan New Delhi tidak sepenuhnya menguasai India dan Islamabad tidak sepenuhnya juga menguasai Pakistan. Muslimlah yang paling dekat untuk menghubungkan seluruh sub-kontinen, tetapi Islam tidak pernah melewati batas perbedaan linguistik, agama, dan budaya.

Pada saat diumumkannya Inggris akan pergi dari India, India terbagai menjadi dua bagian (tiga bagian ketika Pakistan Timur menjadi Bangladesh). Para penganut Islam yang ada di India bermigrasi ke Pakistan, dan penganut Hindu yang ada di Pakistan bermigrasi ke India. Hal tersebut membuat kepanikan yang berlebihan hingga menyebabkan korban hingga juta-an. Inggris melakuan cuci tangan terhadap negara kejadian yang dialami bekas jajahannya tersebut.

Pakistan mewarisi permasalahan perbatasan India dan Afghanistan dan jelas ini merupakan masalah bagi perkembangan Pakistan yang sedang bersaing secara terang-terangan dengan India. Pakistan jelas lebih lemah dari segi geography, militer, dan demography dari India. Tetapi Pakistan lebih terkonsolidasi karena mempunyai sejarah Islam yang diktator, sehingga masyarakatnya loyal.

Wilayah Kashmir bukan hanya soal kebanggaan bangsa India dan Pakistan saja, tetapi Kashmir memiliki nilai strategis. Dalam prespektif India menguasai Kashmir maka membuka jalan untuk negara-negara Asia Tengah dan juga memutus hubungan antar Pakistan dan Tiongkok. Dilain pihak ketika Kashmir dikuasai oleh Pakistan maka Islamabad mempunyai keunggulan dalam politik luar negeri dibandingkan India. Tidak hanya itu Pakistan juga menguasai sumber air dan praktis mengamankan cadangan air bersih Pakistan. Sungai Indus yang berasal dari Tibet, Himalaya mengalir menembut Kashmir sebelum masuk ke Pakistan dan bermuara di Laut Arab di wilayah Karachi.

Sungai Indus mempunyai peran yang sangat penting dalam hal penyediaan air bersih, air tersebut digunakan oleh 2/3 penduduk, industri kapas, dan banyak lagi. Ketika sungai Indus tidak lagi menyupply air, maka industri Pakistan yang sedang berusaha akan hancur. India-Pakistan sepakat untuk membagi keuntungan penggunaan sungai Indus ini, tetapi mereka berdua tahu bahwa populasi mereka sedang meningkat dengan sangat cepat dan akan menjadi masalah dikemudian hari. Ketika ada upaya menganeksasi wilayah Kashmir maka hal upaya tersebut telah sukses untuk memicu full scale war.

Korea mempunyai pengalaman pahit semasa sebelum Perang Dingin. Serangan dari yang dilakukan oleh Mongol membuat Korea harus bertahan dan menutup diri dan fokus untuk melindungi dirinya, namun upaya tersebut tidak menampung hasrat Jepang untuk menguasai selutuh semananjung Korea pada tahun 1910.  Saat Jepang menyerah pada Perang Dunia II, AS hanya fokus terhadap Jepang, dan tidak memikirkan jangka panjang nasib Korea. Memasuki Perang Dingin, Komunis Uni Soviet dan Tiongkok melindungi wilayah utara semenanjung Korea dan AS melindungi wilayah selatan, selajutnya mereka disebut Democratif People of Korea dan Republic of South Korea.

Persteruan panjang akibat Perang Dingin hingga kini membuat negara tersebut saling tegang. Korea Utara jelas unggul karena mempunyai Nuklir dan jarak dari Demilitary Zone (DMZ) dan Seoul hanya 56 km. Artinya Korea Utara dapat melepaskan 500.000 peluru artileri dalam sejam setelah konflik dimulai, dan itu pastinya sangat menghancurkan ibu kota Korea Selatan tersebut.

Masyarakat Jepang mempunyai budaya maritim yang kuat tidak lain karena berada di wilayah kepualuan. Jepang terdiri dari empat pulau besar. Wilayah dataran Jepang sangat kurang, dan hanya banyak pegunungan, wilayah yang dapat digunakan untuk pertanian hanya sebanyak 13% sehingga memaksa para penduduk Jepang untuk berprofesi sebagai pelaut. Akibat dari Perang Dunia II, Jepang hanya boleh memiliki kekuatan militer untuk bertahan. Konflik perbatasan Tiongkok – Jepang yaitu kepulauan Senkaku (yang sebenarnya hanya bebatuan dan karang) diungguli oleh Tiongkok.

Amerika Latin dimulai dari Meksiko hingga ke selatan dari benua tersebut. Negara-negara Amerika Latin dikatakan akan bangkit sebagai negara besar dan akan mempunyai pengaruh ke politik global. Tetapi sebelum hal tersebut terjadi, negara-negara di Amerika Latin mempunyai masalah dengan perbatasannya masing-masing. Permasalahan perbatasan antar Bolivia dan Chile, dimana pada tahun 1879 terjadi perang diantara kedunya hingga berujung Bolivia kehilangan wilayah yang cukup besar dan aksesnya ke laut dan menjadi negara landlock. Hingga kini hubungan  Bolivia dan Chile selalu menjadi ingatan yang perih di masyarakat kedua negara tersebut. Permasalahan yang lain ialah wilayah Belize yang diklaim Guetamala akibat ulah penjajahan Inggris yang menarik lurus perbatasan tersebut. Dan masih banyak lainnya.

Sama halnya dengan benua lain, sungai merupakan bagian penting dalam pembangunan. Tetapi nasib sungai-sungai di Amerika Latin sama halnya dengan Afrika. Sungai Amazon memang besar dan dapat melakukan pelayaran, namun wilayah pinggiran sungai berlumpur sehingga sulit untuk membangun pelabuhan.

Terusan Panama adalah salah satu terusan yang sangat penting untuk negara-negara benua Amerika, sama halnya dengan Terusan Suez. Jalur international ini dijaga oleh Marinir AS dan Panama. Tiongkok pun merasa bahwa Terusan ini penting, namun sedemikian pentingnya malah menjadi ancaman terhadap perdagangan Tiongkok. Oleh karena itu pemerintah Tiongkok yang didukung oleh pengusaha dari Hongkong berusaha untuk membangun Nicaragua Grand Canal yang diestimasi selesai pada tahun 2020. Selesainya terusan ini maka perdagangan Tiongkok tidak tergantung lagi oleh Terusan Panama.

Wilayah Artic menjadi penutup buku ini. Akibat Global Warming, wilayah ini dapat dilewati kapal-kapal untuk melakukan transaksi. Artic menjadi salah satu wilayah yang sangat tegang pada masa Perang Dingin. Di wilayah inilah banyak pasukan Uni Soviet diketahaui berlayar baik dengan dengan kapal maupun kapal selam. Wilayah Artic memangkas banyak jarak antar Uni Soviet, Amerika Serikat, dan Eropa. Dan NATO mendeklarasikan sebagai Kill Zone.

Tim Marshall mempunyai gaya penulisan yang sangat mudah untuk dipahami bahkan untuk orang yang mempunyai kemampuan bahasa inggris tidak terlalu advance. Buku ini jelas tidak mendalami satu permasalahan yang ada, namun berupaya untuk merangkum permasalahan besar yang ada dialami dunia saat ini. Buku yang mempunyai sepuluh bab yang masing-masing membahas wilayah yang berbeda-beda. Marshall sendiri mengutarakan pendapatnya tentang bagaimana Tiongkok sebagai negara dan peradaban berusaha bangkit dan mempunyai usaha membangun dirinya menjadi negara Adidaya.

Hadirnya map-map diawal bab membuat para pembaca dimudahkan untuk mengerti permasalahan yang ada. Buku ini juga mengantar Anda akan pentingnya gunung, sungai, dan laut. Dalam perkembangan teknologi kondisi-kondisi geografi terkadang dinomor duakan padahal kondisi geografi lah yang membuat sebuah negara unggul ataupun terpuruk. Sungai misalnya, diseluruh wilayah yang dibahas dalam buku ini, sungai mempunyai peran penting dalam peradaban tidak terkecuali. Dataran, negara sebesar Rusia pun masih tunduk atas kondisi geografinya sehingga melakukan aneksasi terhadap Osettia Selatan dan Crimea, dan lain-lain.

Sayang nya buku ini tidak membahas Asia Tenggara secara khusus (terlepas ini adalah wilayah saya lahir dan tinggal), dan hanya dibahas pada bab Tiongkok. Asia Tenggara sekarang telah menjadi emerging power. Walaupun organisasi regionalnya memiliki kekuasaan yang sangat sedikit namun negara-negara seperti Indonesia, Singapura, Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Philipina mempunyai peran penting dalam politik global.

Buku ini juga mempunyai referensi sangat banyak untuk para mahasiswa S1 ilmu hubungan international atau yang tertarik dibidangnya, terutama untuk yang tertarik dalam geopolitik, keamanan, dan strategic study.

Movie Review: Before the Flood

Judul Film     : Before the Flood
Penulis          : Mark Monroe
Produksi       : National Geographic
Tahun            : 21 Oktober 2016
Durasi            : 1 jam 36 menit

Before_the_Flood_(2016_documentary_film)_poster.jpg

Sebenarnya saya tidak tahu menahu soal film ini sebelum teman saya Noufal dengan semangat mengajak saya nonton film ini di National Geographic Channel. Semantara menontonnya saya merasa tertarik untuk memperhatikan film ini dengan seksama.

Before the Flood menceritakan perjalanan Leonardo DiCaprio sebagai messenger of peace tentang perubahan iklim. Selama perjalanannya DiCaprio mengunjungi beberapa wilayah, bertemu dengan para ahli, ilmuan, politikus, aktifis, dan orang-orang yang mempunyai peran dalam penanggulangan perubahan iklim. Film ini juga memberikan gambaran tentang individu, media, dan kelompok yang tidak percaya dengan Global Warming.

Film dokumenter ini sebenarnya lebih fokus terhadap bagaimana peran fossil fuel dan bagaimana penanganannya terhadap Global Warming. Fossil fuel (minyak bumi, gas bumi, dan batu bara) mempunyai peran penting dalam pembangunan ekonomi negara-negara industri karena harganya yang sangat murah dan memproduksi energy yang besar. Beberapa anggota kongres Amerika Serikat bahkan media (Fox News) yang menggiring opini seseorang dengan mengatakan bahwa Global Warming adalah sebuah Hoax karena manusia tidak dapat merubah iklim. Bahkan Gubernur Florida, Rick Scott melarang menggunakan kata “Global Warming” dalam dokumen resmi pemerintah.

Screenshot 2017-01-21_11-08-43.png

DiCaprio mengunjungi beberapa wilayah yang mendapatkan dampak secara menyuluruh. Pada saat mengunjungi Kangerlussuaq, Greenland, ia mendapati turunnya permukaan dataran es sedalam 35 kaki (10 m) selama 5 tahun dan itu hanya ketinggian belum menghitung luas dataran es nya. South Florida, dimana ada fenomena terjadi yang dinamakan Sunny Day Floading, ketika permukaan laut tinggi hingga air masuk ke dalam kota membanjiri jalan-jalan perkotaan melalui saluran drainase yang berada di kota Miami. Indonesia mempunyai hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia dan juga terkena dampak terhadap kehidupan yang berada di hutan tersebut karena ingin membuat perkebunan kelapa sawit yang terkenal sebagai komoditas yang cukup murah dan bahan dasar berbagai produk makanan dan kosmetik. Di Australia dampak global warming menghancurkan ekosistem laut terutama terumbu karang dan akan mengakibatkan ketidakstabilan lebih lanjut yang akan berpengaruh secara dramatis terhadap kesediaan pangan dilaut.

China dan India juga mempunyai ketergantungan dan dampak yang sama terhadap Fossil Fuel dan Global Warming. Di China dampak dari fossil fuel sangat luas, dari lingkungan seperti udara dan air yang akhirnya mempengaruhi kesehatan dan aktifitas sehari-hari. Untuk menanggulangi permasalahan ini media, organisasi non-pemerintah, dan pemerintah bekerja sama untuk mengurangi ketergantungan terhadap fossi fuel dan beralih ke renewable source. India mempunyai tantangan tersendiri, tingginya angka kemiskinan membuat pemerintah harus fokus terhadap pembangunan ekonomi dan mengeluarkan penduduknya dari kemiskinan tetapi dengan mengurangi penggunaan batu bara, berarti memperlambat pembangunan ekonomi. Penduduk India masih harus menggunakan Bio-Mass sebagai sumber api untuk memasak dan hancurnya sektor pertanian karena hujan yang membanjiri sawah penduduk setempat membuat kondisi India lebih buruk.

Negara-negara pasifik bahkan mendapatkan dampak yang lebih hebat lagi. Kiribati, negara kepulauan di Oceania harus mengevakuasi dengan cara membeli sebuah pulau di negara kepualuan Fiji karena dampak banjir, puting beliung, dan beberapa tahun lagi akan tenggelam, dan para penduduk dapat bermigrasi bahkan harus bermigrasi karena tidak mempunyai pilihan lagi. Palau, negara terpisah menjadi pulau-pulau karena naiknya permukaan air laut.

Dampak dari naiknya suhu walaupun 1°. Naik dalam 1° mempunyai dampak badai, kekeringan. Sebelum 2° terumbu karang akan hancur, pada 3° akan ada heatwave dan membuat sebagai wilayah tidak layak hidup dan berbagai pertanian hancur.

Screenshot 2017-01-21_11-12-27.png

Ahli dari Jerman yang sekarang menjadi peneliti di Penn State University, Dr. Michael, mengemukakan bahwa naiknya suhu global memang fluktuatif, tapi setelah revolusi industri suhu kemudian naik dengan sangat signifikan dan grafiknya seperti tongkat olahraga hockey. Setelah mempublikasikan penelitiannya, Dr. Michael mendapatkan ancaman, diolok-olok, dan dikritik. Ia mengatakan bahwa beberapa perusahaan besar menggunakan Think Tanks dan Front Groups dan individu yang mempunyai kredensial yang baik dan ingin menjual kredinsial untuk mengatakan bahwa Global Warming ialah sesuatu kebohongan. KOCH Industries salah satu korporasi besar di America Serikat yang mempunyai kebutuhan tinggi terhadap Fossil Fuel dan membuat organisasi American for Prosperity sebagai Front Group untuk mempengaruhi. Tidak hanya menggunakan organisasi tidak tanggung-tanggung mereka pun membiayai pada anggota kongres seperti Ted Cruz, James Inhofe, Paul Ryan, Mich McConnel, dan masih banyaknya lainnya sehingga dapat menghambat undang-undang untuk menanggulangi Global Warming.

Screenshot 2017-01-21_11-10-21.png

Tidak hanya pemaparan masalah, Before the Flood juga memberikan solusi yang bisa dilakukan baik individu, kelompok, maupun pemerintah. Ternak sapi membutuhkan lebih dari 70% produksi pertanian terlebih lagi memproduksi methane, setiap 1 molekul methane sama dengan 23 molekul karbodiksida dan mayoritas methane yang ada di bawah atmosphere berasal dari ternak. Hal yang mudah ialah mengurangi konsumsi daging sapi dan berailih ke daging ayam dan sayur/buah. Elon Musk, pendiri tesla, spacex, dan paypal mempunyai ide untuk membangun sustainable power yaitu Gigafactory dengan menggunakan solar panel dan mensupply listrik ke beberapa daerah. Selanjutnya, carbontax, dimana memberikan pajak pada penggunaan fossil fuel. Tapi jelas kebijakan ini tidaklah popular sehingga carbontax jarang digunakan. Jika mau merubah kebijakan politik, yang harus pertama diubah ialah opini public, jika opini public telah popular untuk suatu isu, maka pejabat akan mengikuti opini public tersebut karena politikus selalu mengambil kebijakan untuk sesuatu yang popular.

Screenshot 2017-01-21_11-15-32.png

Dalam lingkup international, Di Caprio mewawancarai Menteri Luar Negeri, John Kerry. Kerry mengatakan bahwa AS dan China akan bekerja sama dan mengeluarkan statmen terhadap Global Warming pemerintah negara-negara lain akan membuat langkah yang konkrit. Para pemimpin dunia untuk menyapakati secara bersama di COP Paris. Paris Agreement mempunyai aturan untuk mengurangi suhu global sebanyak 2°, tapi tidak ada aturan mengenai cabontax, hukuman, atau faktor pemaksa. Walaupun setelah di ratifikasinya Paris Agreement, kongres AS ingin segera menariknya karena menghambat perekonomian. Presiden Obama mengatakan bahwa Pentagon telah menetapkan bahwa Global Warming bukan lagi masalah lingkungan tapi masalah keamanan national karena sebagian besar penduduk hidup di daerah pesisir, jika permukaan naik akan terjadi ketidakstablikan yang diakibatkan karena migrasi penduduk.

Screenshot 2017-01-21_11-14-07.png

Pada bagian akhir dalam film ini, wawancara dilakukan bersama pemuka agama Pope Francis dan Ilmuan NASA. DiCaprio mengunjungi Pope Francis. Pope Francis mengluarkan dokumen untuk segera mengambil aksi tentang permasalahan lingkungan yang dihadapi. Sebagai salah satu pemuka agama global Pope, mengajak untuk menerima ilmu modern dan bekerja sama untuk menanggulangi permasalahan lingkungan yang ada, tentunya ini adalah sesuatu yang baru. Ilmuan NASA Piers Sellers menjelaskan bagaimana pergerakan udara, arus laut, dan faktor alam lainnya pada masa Global Warming ini. Walaupun telah divonis hidup tidak lama lagi, Sellers tetap memandang positif terhadap kemampuan manusia, manusia lain hanya perlu dibuka matanya untuk bisa mengambil sikap.

Akhir dari film ini memberikan solusi terhadap global warming ialah mengkonsumsi dengan cara yang berbeda dengan cara apa yang dibeli, apa yang dimakan, dan bagaimana mendapatkan energy. Selanjutnya memilih pemimpin yang mau melawan perubahan iklim.

Film ini tidak terlepas dari atmosphere pemilihan Presiden AS. Dapat dilihat dengan jelas beberapa cuplikan-cuplikan yang menolak akan adanya Global Warming berasal dari Partai Republik. Bahkan sepotong klip kampanye Donald Trump yang tidak mempercayai isu ini pun dihadirkan. Sedangkan tokoh-tokoh Partai Demokrat seperti mantan presiden Bill Clinton, mantan wakil presiden Al Gore, Obama, dan John Kerry diberikan tampakan sebagai partai dan tokoh yang mempunyai perhatian akan Global Warming.

Kritik terhadap film ini pun tetap berdatangan karena gaya hidup DiCarprio. Sebagai aktor dia memang diragukan karena tidak mempunyai latar belakang akademik terhadap Global Warming. Terlebih lagi beberapa perjalanan DiCaprio memakai pesawat Jet Pribadi dan tentunya ini menjadi sorotan media-media yang tidak percaya terhadap Global Warming.

Sama dengan film yang dibuat oleh mantan wakil presiden AS, Al Gore yaitu An Inconvenient Truth film ini tentunya ingin mengedukasi penduduk dunia tentang adanya Global Warming. Sesuatu yang unik dalam film documenter ini ialah, meliput secara langsung kejadian-kejadian diseluruh dunia yang terkena dampak dari Global Warming. Tidak hanya itu, Natgeo juga berusaha untuk meliput seluruh komponen yang mempunyai pengaruh dan kepentingan terhadap isu ini seperti para ahli, politikus, ekonomis, pemuka agama, aktifis, dan lainnya. Jelas film ini akan memberikan gambaran yang komprehensif terhadap bagaimana memandang Global Warming.

 

 

Book Review: Bebas Dari Neoliberalisme

Judul Buku    : Bebas Dari Neoliberalisme
Penulis           : Mansour Fakih
Penerbit         : INSSIST Press
Tahun              : 2010 (Pertama kali 2004)
Jumlah Hal.   : xi + 161

 

bebas dari neoliberal.png
Neoliberalisme dan kemiskinan merupakan isu yang menjadi trend dalam satu decade terakhir ini. Kebijakan pemerintah yang ingin mengrurangi kemiskinan dengan menjalankan kebijakan Neoliberalisme merupakan sebuah kontra-produktif. Para penganut paham ekonomi neoliberalisme meyakini bahwa dengan kebijakan kompetisi bebas pertumbuhan ekonomi dapaat dicapai. Kemudian pasar bebas dimana harga yang akan menyusaikan dengan kondisi apakah barang tersebut tersedia atau langkah, bahkan pertimbangan apakah akan ada seseorang yang melakukan investasi atau tidak. Faktor tersebut akhirnya menandakan apakah sesuatu dapat di produksi atau tidak. Tentunya kebijakan ini tidak terlepas dari bimbingan invisible hand dimana setiap individu mendapatkan berkah dari keputusannya masing-masing. Ketika kekayaan terkumpul kepada segilintir orang, akan terjadi yang disebut trickle down ke masyarakat yang lain.

Tidak jauh berbeda dengan kebijakan ekonomi liberal sebelum terjadinya Great Depression pada tahun 1930, neoliberalisme hadir dengan wajah yang lebih baru. Great Depression dimana terjadi stagnasi pertumbuhan dan akumululasi kapital yang salah satunya akibat dari proteksi, keadilan sosial, kesejahteraan bagi rakyat, dan tradisi adat pengelolaan sumber daya alam berbasis rakyat dan sebagainya. Agar tidak mengulangi kesalahan yang sama kapitalisme kemudian hadir dan menggunakan strategi baru yakni mehinglangkan segenap rintangan investasi, pasar bebas, perlindungan hak milik intelektual, good governance, penghapusan subsidi dan program proteksi pada rakyat, deregulasi, dan penguatan civil society serta anti korupsi.

Bentuk dan pola penjajahan juga telah berubah. Negara yang pernah dijajah telah memasuki masa post-kolonial atau State Led-Development, modus penjajahan tidak lagi dilakukan secara langsung namun menggunakan teori dan ideologi. Masa ini dapat diliat dengan berbagai tanda, yang diantara lain kemerdekaan secara fisik, namun negara penjajah masih mendominasi dengan teori dan kebijakan perubahan sosialnya. Inilah sesungguhnya teori pembangunan yang menjadi alat dominasi bagi negara-negara penjajah untuk melanggengkan kekuasaan dan ketergantungan negara dunia ketiga. Dengan kata lain fase lanjutan dari penjajahan ini tidak lagi melalui penjajahan secara fisik, melainkan berupa hegemoni yakni dominasi cara pandang, ideologi, dan diskursus melalui produksi pengetahuan.

Kemudian developmentalisme sebagai sistem kapitalisme negara menjadi model pembangunan yang mengglobal. Teori pertumbuhan oleh W.W. Rostow diadopsi oleh era Orde Baru dengan tahapan-tahapan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman  menggunakan teori Rostow untuk menarik negara-negara yang pernah dijajah dan juga membendung perkembangan sosialisme-komunis pada masa Perang Dingin di tahun 1950an. Tetapi pada akhir 1980an State Led-Development ini mendapatkan tantangan pada masa Ronald Reagan menjabat sebagai Presiden AS. State Led-Development kemudian hancur pada tahun 1990an dan membawa korban negara-negara model yang menganutnya, negara Asia Timur dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Tetapi anehnya, kegagalan dari State Led-Development dinyatakan karena alasan korupsi dan nepotisme, sehingga kepercayaan terhadap liberalisme terlegitimasi dan negara model yang dianggap bersalah.

Salah satu contoh model pembangunanisme pada era Orde Baru ialah Revolusi Hijau. Revolusi Hijau ini mempunyai dampak yang luar biasa terhadap lingkungan sekitar, sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat pada masa itu. Diskursus Revolusi Hijau dianggap sebagai modernisasi pengelolaan pertanian sehingga menggusur pengetahuan-pengetahuan yang tradisional yang non-positivistik. Mulai dari cara bertani berserta benih-benih dan formasi sosial nonkapitalistik berubah di pedesaan. Kaum perempuan pun tergusur dari pertanian karena dianggap bahwa hanya laki-laki lah pemimpin rumah tangga, akibatnya informasi tentang modernisasi pertanian hanya sampai ada kaum laki-laki saja dan tidak menyentuh kaum perempuan padahal kaum perempuan mempunyai andil yang sangat besar dalam perihal produksi khususnya selama musim panen. Tidak hanya pada manusia, lingkungan pun mendapatkan dampaknya. Di Jawa misalnya, selama 7 tahun revolusi hijau rata-rata per hektar penggunaan pupuk kimia naik 50% tiap tahunnya, sedang penggunakan pestisida naik dua kali lipa perhektarnya. Kedua hal ini jelas menghancurkan ekosismtem lingkungan pedesaan dan juga menceptakan ketergantungan.

Peran negara dalam pembangunanisme ialah menjadi komando segala kebijakan ekonomi. Pertembuhan ekonomi secara kuantitatif jangka pendek memang mampu mengatasi permasalahan produktivitas padi, tetapi agar memisahkan pandangan kita dengan redesionisme dan melihat secara jangka panjang, maka akan terdapat permasalahan-permasalahan. Dalam diskursis Revolusi Hiijau, pengatuahuan adalah power maka penetahuan dan budaya petanipun dikontrol. Pengetahuan postivistik ini berhasil melakukan disempower atau menggusur pengetahuan mereka yang telah bertani selama ribuan tahun dan juga dampak yang telah disebutkan diatas.

Perkembangan ekonomi neoliberalisme yang ditandai dengan pembaharuan model ekonomi liberalisme tidaklah terlepas dengan perjalanan pemikiran lainnya. John Maynard Keyness adalah salah salah satu pemikir alternatif sejak terjadinya Great Depression. Keynes dengan gagasan nya full employment mengatakan bahwa buruh mempunyai peran strategis dalam perkembangan kapitalisme dan Bank Sentral juga mempunyai peran penting dalam pembukaan lapangan pekerjaan. Gagasan ini kemudian diadopsi oleh Presiden AS Roosevelt sebagai program New Deal dan dianggap berhasil karena berhasil mengeluarkan rakyat AS. Sejak itulah peran pemerintah dalam perekonomian dapat diterima lebih baik oleh masyarakat.

Tetapi bangkitnya peran negara dalam bidang ekonomi dan tenggelamnya paham neoliberalisme membuat korporasi-korporasi global ingin merebut dan mengembalikan sistem liberalisme. Hal ini disebabkan karena menurunnya pendapatan korporasi global sehingga melalui corporate globalization, mereka merebut kembali paham liberalisme bahkan dalam skala global.

Untuk melancarkan strategi neoliberalisme maka dibuatlah kesempatan konsensus yaitu Washington Consenssus, kesepakatan dimana para pembela ekonomi privat terutama perusahaan-perusahaan besar yang ingin mengontrol dan menguasai ekonmi international dan dapat mempengaruhi opini secara global. Pada intinya paham neoliberalisme berdasarkan pertama, biarkan pasar bekerja dan lenyapkan kontrol atas harga, biarkan pasar bekerja tanpa distorsi. Kedua, kurangin pemborosan dengan memangkas semua anggara negara yang tidak produktif seperti subsidi untuk pelayanan sosial (pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial lainnya). Ketiga, deregulasi ekonomi karena batasan yang ada dapat mengakibatkan mengurangnya keuntungan. Keempat, keyakinan terhadap privatisasi, dengan alasan keyakinan terhadap persaingan bebas dan demi efisiensi dan mengurangi korupsi. Kelima ialah menghilangkan keyakinan gotong royong, kebersamaan, barang-barang publik dan digantikan dengan tanggung jawab individual.

Tentunya mitos-mitos tersebut ternyata tidak benar adanya. Pertama, bahwa dengan perdagangan bebas akan menjamin murahnya harga dan kelaparan tidak terjadi, kenyataannya perdagangan bebas malah menaikkan harga. Kedua, bahwa WTO dan Trans National Companys akan memproduksi pangan yang aman, kenyataannya TNCs menggunakan rekayasa genetika dan penggunaan pestisida dan racun kimia yang justru lebih membahayakan. Ketiga, kaum perempuan akan diuntungkan dengan pasar bebas, kenyataannya petani perempuan semakin tersingkir. Keempat, bahwa paten akan melindungi inovasi dan pengetahuan, kenyataannya paten dan hak kekayaan intelektual dibidang mikroorganisme selain melegalisasi malah mencuri keanekagraman hayati petani serta bibit dan menjualnya kembali. Kelima, bahwa perdagangan bebas akan dibidang pangan akan menguntungkan konsumen karena banyak pilihan dan harga murah, kenyataannya perdangangan bebas malah menguntungkan TNC dan memarginalkan negara Dunia Ketiga sehingga negara Dunia Ketiga tidak mampu lagi memenuhi kewajiban konstitusinya dalam bidang keamanan dan persediaan pangan.

Walaupun negara seperti Amerika Serikat sangat getol dengan upaya menegakkan kebijakan neolib namun pemerintah AS sendiri tidak sepenuhnya menjalankan kebijakan tersebut. Dengan kebijakan Farm Bill, pemerintah AS membantu perusahaan Agribisnis besar untuk memasarkan produk mereka yang pasarnya sudah mulai jenuh.

Setelah melewati tahap konsensus agar kebijakan neoliberalisme dapat lebih memaksa lagi maka diinstitusikanlah menjadi IMF, WTO, dan World Bank. Kebijakan ini tentunya juga masuk ke Indonesia, melalui kebijakan Strutctural Adjusmetnt Program pada tahun 1998 dengan “membantu Indonesia mengatasi krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997. Program tersebut tidak lain ialah paket kebijakan neoliberal yang mempunyai ciri-ciri yakni menghilangkan intervensi pemerintah, liberalisasi perdagangan, dan memperlancar arus modal asing.

WTO juga merupakan ancaman yang nyata pada kaum miskin dan masyrakat secara keseluruhan karena pertama, WTO lebih memprioritaskan nilai perdagangan dan komersilisasi sebagai nilai dasar dan mengabaikan nilai-nilai lain seperti keadilan sosial, kemanusiaan, maupun solidaritas sesama umat manusia. Kedua, WTO merupakan organisasi yang tidak demokratis yang lebih mementingkan TNCs. Ketiga, merupakan tatanan imprealisme global yang tidak hanya berkuasa untuk meregulasi ekonomi global, melainkan juga berkuasa mengatur secara aktif perdagangan, investasi global, serta berkuasa memfasilitasi perdagangan dan investasi global diatas pembangunan ekonomi.

Sangat beragam kebijakan Neoliberalisme yang menjadi ancaman terhadap umat manusia, kebijakan tersebut dapat berupa privatisasi. Dalam buku ini privatisasi yang dibahas ialah privatisasi atas Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Privatisasi sesungguhnya merupakan bagian dari corporate led-globalization dimana sistem ekonomi ini didesak oleh korporasi global. Kebijakan privatisasi dan komodifikasi layanan publik maupun kebijakan untuk komersialisasi dan privatisasi sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik komunal seperti air, udara, dan keanekargaman hayati dan genetika. Selain itu nyata kebijakan neoliberal tersebut lebih terlihat pada sektor kesehatan dimana setelah diprivatisasi maka selanjutnya disebut “Puskemas Mandiri” dan juga Perguruan Tinggi Negeri yang menggunakan istilah “Otonomi Kampus”.

Privatisasi secara umum dapat dimaknai sebagai proses sistematis untuk memindahkan status kepemilikan Badan Usaha Milik negara atau kekayaan publik lainnya dari tangan seluruh anggota masyarakat kepada para pemilik modal perorangan. Agar mendapat dukungan publik privatisasi dibungkus dengan rapi seakan privatisasi merupakan upaya menyelematkan dan menyehatkan dari korupsi. Malah yang sering terjadi perusahaan besarlah yang melakukan upaya korupsi. Perusahaan milik negara memang bagaikan buah simalakama, jika dilanjutkan tanpa sistem pengawasan yang baik akan menjadi sumber korupsi dan pemerasan. Namun peran Perusahaan milik negara tetap menjadi sentral dalam pembangunan negara.

Dalam akhir bukunya almarhum Mansour Fakih berupaya untuk mengajak kaum miskin untuk bersatu melawan kebijakan neoliberal. Perlawanan tersebut bisa dalam bentuk pengawalan terhadap kebijakan-kebijakan yang merugikan kaum miskin atau bersatu dalam organisasi-organisasi non pemerintah yang mempromosikan keadalian sosial.

Walaupun buku ini pertama kali terbit pada tahun 2003 namun beliau dapat melihat prospek kebijakan neoliberal di Indonesia. Permasalahan seperti privatisasi dan juga tekanan-tekanan dari institusi-institusi international yang mempromosikan kebijakan neoliberal masih terjadi hingga kini.

Buku ini sangat kaya akan dasar-dasar pemahaman neoliberalisme dari lahirnya, kebijakannya, dan juga saran untuk melawannya. Tidak hanya itu beliau juga mencoba untuk memberikan contoh kasus Revolusi Hijau, dimana sebagain masyarakat masih memandangnya sebagai pencapaian tanpa melihat dampak dalam jangka panjang.

Book Review: Menembus Blokade Belanda

Judul Buku      : Menembus Blokade Belanda
Penulis             : Brigjen (Purn) H. Bachtiar
Penerbit          : Kedai Buku Jenny
Tahun               : 2016
Jumlah Hal.    : xxx+84

Cover Menembus Blokade Belanda.png

Sebenarnya tulisan ini lebih bermaksud untuk menceritakan lebih dari resensi yang berisikan synopsis, keunggulan, dan kelemahan dari buku ini tetapi juga menyampaikan bagaimana proses hingga buku ini diterbitkan, perasaan dari diri sendiri dan juga harapan sebagai keluarga Opa sendiri. Tentunya tulisan ini akan bias dan juga mengharapkan sesuatu yang lebih seakan diri ini tidak bisa mensyukuri akan yang sudah diberikan.

Buku ini banyak menceritakan perjalanan seorang pejuang semasa revolusi fisik sebagaimana memang biografi dibuat. Berawal dari dibentuknya Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi Selatan (TRIPS) yang kemudian akan melakukan ekspedisi dengan 13 gelombang ada Desember 1946 ke Pulau Sulawesi karena Panglima Besar Jenderal Sudirman bertujuan untuk membentuk Tentara Republik Indonesi (TRI) diseluruh wilayah Republik Indonesia sebagai tanda bahwa Republik Indonesia (di luar Jawa, Madura, dan Sumatera) juga ada dan membuktikan bahwa Republik Indonesia telah merdeka secara de facto disetiap wilayah di Indonesia. Tujuan dari TRIPS ini ialah agar dibentuknya TRI di Sulawesi sambil melakukan koordinasi dengan laskar-laskar yang ada.

Revolusi Fisik 1945-1950 tidak hanya perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari Belanda yang mencoba merebut kembali dan tidak mengakui kemerdekaan Republik Indonesia, tetapi juga pristiwa pemberontakan PKI di Madiun, Andi Azis di Sulsel yang ingin Sulawesi berpisah dari Republik Indonesia dan mendirikan Negara Indonesia Timur, Kahar Muzakkar dan Usman Ballo yang memberontak karena tidak diterimanya Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan bergabung ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia, dan terakhir pemberontakan oleh Republik Maluku Selatan (RMS) hingga ditangkap nya Johan Manusama dan Soukomil.

Dalam buku ini Opa Bachtiar menceritakan perjalanan dengan kapal sebanyak tiga kali. Perjalanan pertama ialah dari Sulawesi menuju Jawa bersama Alim Bachri dan Mahmud Sewang untuk menjadi pejuang Republik Indonesia. Betiga diberikan surat pengantar oleh Andi Zainal Abidin (Sekertaris Sam Ratulangi, Gubernur Sulawesi) untuk Andi Mattalatta agar mereka bertiga dilatih. Opa Bachtiar yang berumur 16 tahun kemudian ditolak oleh Andi Mattalatta agar melanjutkan sekolah ketimbang menjadi prajurit, mendengar itu jelas Opa Bachtiar menangis. Tapi karena Opa Bachtiar bersikukuh dengan niatnya, akhirnya Andi Mattalatta mengijinkan untuk ikut latihan militer di Situbundo dan di tempatkan di markas TRIPS.

Perjalanan kedua dan yang menjadi judul biografi ini ialah perjalanan melaksanakan ekspedisi yang memang tujuan dari dibentuknya TRIPS. Kahar Muzakkar menjadi Komandan dan Andi Mattalatta sebagai wakil komandan Resimen Hasanuddin yang sementara bermarkas di Jl. Trimargo 10, Jogjakarta. Opa Bachtiar berada dalam gelombang keenam dan juga di bawah komando Andi Mattalatta. Sebelum mendarat di Garongkong, Barru, pasukan ini harus melewati pasukan patroli Belanda. Keadaan dalam kapal tersebut meneganggkan karena kapal patroli belanda tersebut mendekat dan jika memang patroli Belanda itu merapat maka seluruh prajurit harus melakukan penyerangan, menghabisi seluruh prajurit belanda, dan kemudian merebut kapal patroli tersebut. Namun sebuah kapal lain melintas dan ditahan oleh patroli belanda. Setelah diperiksanya kapal tersebut, kami tidak didekati lagi karena patroli Belanda itu menganggap kami sama dengan kapal lain yang barusan diperiksanya.

Dan yang terakhir ialah perjalanan ketiga yaitu dari Sulawesi ke Jawa. Karena belanda menyuruh agar rakyat bermukim dipinggir jalan agar mudah diawasi oleh Belanda, para pasukan merasa kesulitan. Kesulitan karena tentara dipisahkan oleh rakyatnya yang membantu perjuangan. Akibatnya, logistik tidak ada dan makananpun sangat susah didapat. Akhirnya Andi Mattlatta memerintahkan Saleh Lahede untuk melapor ke Panglima Besar Sudirman akan kondisi ini dan ditunjuklah Opa Bachtiar bersama enam prajurit lainnya untuk menjadi pengawal. Perjalanan menuju pantai tersebut sungguh meneganggkan karena harus melewati pemukiman-pemukiman yang juga diduduki Belanda. Bahkan setelah berlayar untuk mendapatkan kapal yang layak menyebrangi lautan agar sampai ke Pulau Jawa harus mengambil perahu, kemudian melihat sandeq dan membajaknya, lalu melihat lambo dan kembali juga membajaknya. Pembajakan tersebut tidak selesai dengan aksi-aksi yang jahat, tapi setiap berpindah kapal diberikan upah dan diberikan kembali ke para pemiliknya walaupun barang yang dibawah harus dibuang atau dimakan semasa perjalanan.

Naskah buku ini dituliskan oleh Brigjen (Purn) H. Bachtiar. Beliau menulisnya dengan di atas selembaran-selambaran kertas. Naskah ini sebenarnya telah lama dan sempat berhenti untuk dilanjutkan, tetapi sejak mendapatkan dukungan lagi dari keluarga  akhirnya beliau menyelesaikannya dan kemudian diberikan kepada pihak penerbit untuk diterbitkan. Oleh karena itu banyak detail yang atau cerita yang bisa dinilai cukup kurang dibandingkan selama karier beliau di TNI AD serta perjalanan merajut keluarganya. Dan tentunya diharapkan adanya lanjutan dari buku biografi ini.

Humanitarian Intervention dalam Ilmu Hubungan International

[Peringatan! – Artikel ini hanya gambaran singkat dan pengantar untuk para pelajar atau peminat Ilmu Hubungan International. Tulisan ini membahas “Humanitarian Intervention” dalam ilmu hubungan international. Dilarang keras untuk mensalin artikel website ini untuk keperluan pribadi (tugas, dan lain-lain) tanpa sepengetahuan penulis. Jika ada hal yang kurang dimengerti atau ingin ditanyakan silahkan tinggalkan pesan di sini]

Ketika terjadi pemberontakan terhadap pemerintahan, atau terjadi perang saudara dan pemerintah negara tersebut tidak dapat menangani maka korban yang jatuh akan sangat banyak. Jika yang terjadi pemberontakan kerap kali korban dari pemberontakan ini tidak hanya dari pihak pemberontak dan rejim pemerintahan, tetapi juga sipil yang berada dalam wilayah perebutan kekuasaan. Namun karena pemerintahan mempunyai angkatan bersenjata yang terorganisir dengan baik, maka dengan mudah pemerintah melakukan penyerangan yang dapat menjatuhkan korban dengan jumlah yang tidak sedikit. Bahkan tidak menutup kemungkinan operasi yang dilakukan oleh angkatan bersenjata pemerintah melakukan genosida (jika suatu suku yang memberontak) atau pembunuhan massal.

Tentunya negara-negara lain tidak akan tinggal diam jika melihat hal ini terjadi di suatu negara. Tidaknya karena pemberontakan tentu masih banyak motif lain dimana negara melakukan genosida, pembunuhan massal, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan-kejahatan yang melanggar hak asazi manusia. Apakah dunia akan tinggal diam begitu saja ketika mengetahui hal ini terjadi ?. Tentu tidak, tapi apa kah pantas untuk suatu ikut campur dalam wilayah kedaulatan negara lain ?. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang singkat terhadap Humanitarian Intervention dan bagaimana suatu hal yang illegal (masuk ke dalam negara lain dan ikut campur) menjadi suatu yang legal.

Intervensi terhadap urusan internal negara kerap kali menjadi pembahasan-pembahasan pada abad 20. Perdebatan antar legal atau tidaknya melakukan intervensi terhadap urusan domestik negara lain. Pada abad 20 banyak negara-negara yang bergejolak di internal negara itu sendiri, seperti genosida atau perang sipil yang bertujuan untuk menjatuhkan rezim pemerintahan. Untuk mengatasi hal demikian pemerintah sering kali menggunakan angkatan bersenjatanya. Menggunakan angkatan bersenjata untuk menertibkan masyarakatnya berarti kondisi ini akan memakan korban baik dari pihak pemerintah maupun pihak masyarakat. Tidak hanya dengan kontak bersenjata antar pihak yang masyarakat yang ingin terjadinya perubahan rejim yang akan mendapatkan dampak dari konflik tersebut, tapi kebijakan-kebijakan state emergency yang notabene akan membatasi hak seluruh warga negara.

Kondisi ini kemudian dilihat sebagai kejahatan atas kemanusiaan. Negara yang melihat hal tersebut biasanya tidak bisa tinggal diam dan merasa harus melakukan sesuatu terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh suatu negara terhadap masyarakatnya. Negara yang mengedepankan kepentingan nationalnya hal-hal kemanusiaan maka akan melakukan sesuatu terhadap negara yang sedang melakukan hal yang sewenang-wenang terhadap akan masyakatnya. hal tersebut berupa intervensi baik militer maupun tidak. Namun intervensi yang dilakukan ialah melanggar kedaulatan suatu negara. Negara yang berdaulat, pemerintahannya bebas untuk melakukan apapun terhadap wilayah, sumber daya, maupun masyarakatnya.

Humanitarian Intervention dan Humanitarian Action ialah dua hal yang berbeda. Humanitarian Action biasanya dikonotasikan untuk para simpatisan-simpatisan atau Non-govermental Organization (NGO) yang bekerja untuk bantuan kemanusiaan. Pada perkembangannya juga tahun 2001 lembaga International Commision on Intervention and State Sovereignty (ICISS) mencoba untuk memakai terminology Humanitarian Intervention karena berseberangan dengan pemahaman agensi-agensi humanitarian yang bergerak di bantuan-bantuan kemanusiaan.[1] Negara yang melakukan intervensi sering kali menggunakan angkatan bersenjata dan memakan korban baik dari pihak yang mengintervensi ataupun diintervensi. Intervensi seperti ini kemudian sangat berseberangan dengan pemaham humanitarian yang dimaksud oleh agensi-agensi yang bergerak dalam kemanusiaan.

Luasnya pembicaraan tentang pembatasan kata humanitarian dalam aksi militer, Kofi Annan sebagai sekeretaris jenderal Persrikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengutarakan pendapatnya di International Peace Academy pada tahun 2000. Annan mengatakan bahwa penggunaan terminologi humanitarian seharusnya dipakai untuk mendeskripsikan operasi militer, tapi tidak intervensi militer, karena akan membuat penggunaan aksi humanitarian semakin kabur. Jika tidak kedepannya akan ada pula kata-kata seperti humanitarian bombing dan masyarakat akan memandang sinis pendapat ini.[2]

J.L Holzgrefe dalam artikelnya Just Intervention dari buku Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas  mendefinisikan Humanitarian Intervention sebagai berikut:[3]

The Threat of force across state borders by a state (or group of states) aimed at preventing or ending widespread and gave violations of fundamental human rights of individuals other than its own citizens, without the permission of the state within whose territory force is applied. [4]

Ancaman kekerasan dari luar perbatasan negara oleh negara (atau kelompok beberapa negara) yang menargetkan untuk mencegah atau mengakhiri penyebaran dan kekerasan terhadap fundamental hak asazi manusia ke individu atau masyarakat tanpa izin dari negara yang terjadi kekerasan dilakukan

Holzgrefe berusaha menjelaskan bahwa intervensi merupakan kekuatan yang berasalkan dari luar negara yang sedang mengalami dinamika dalam negeri seperti pelanggaran kemanusiaan ke warga negaranya sendiri. Kekuatan tersebut tidak perlu hadir dengan ijin dari pemerintah dari negara yang bersangkutan untuk masuk ke dalam negara tersebut. Tujuan dari masuknya negara lain ke dalam negara yang sedang mengalami perang ialah untuk mencegah atau mengakhir kekerasan lebih lanjut terhadap hak asazi manusia.

Sejalan dengan itu ICISS juga mendefinisikan Humanitarian Intervention sebagai:

Action taken against a state or its leaders, without its or their consent, for purposes which are claimed to be humanitarian or protective . . . including all forms of preventive measures, and coercive intervention measures – sanction and criminal prosecutions – falling short of military intervention.[5]

Diambilnya aksi melawan suatu negara atau pemimpinnya, tanpa persetujuan pihak terkait untuk tujuan yang diklaim sebagai kemanusiaan atau perlindungan . . . termasuk seluruh bentuk dan tindakan kekarasan untuk mengintervensi – sanksi dan penuntutan – adalah bentuk pendek dari intervensi militer

Jadi pada dasarnya Humanitarian Intervention ialah aksi yang dilakukan oleh suatu negara dengan paksaan dengan alasan kemanusiaan tanpa persetujuan negara yang akan di intervensi. Tentu legalitas akan intervensi ini terus dipertanyakan. Karena sistem international anarkis atau tidak ada otoritas negara di atas negara lain, maka legalitas untuk melakukan saling intervensi negara yang berdaulat tidak ada.

Setelah berakhirnya perang dingin pada tahun 1989, konsensus tentang illegalnya humanitarian intervention mulai rapuh. Terjadinya pelanggaran Hak Asazi Manusia (HAM) di Yugoslavia dan beberapa negara-negara di Afrika membuat opini publik di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat berkembang dan menginkan pemerintahannya melakukan sesuatu terhadap konflik internal negara itu.[6] Karena tradisional peacekeeping sering kali tidak efektif dan para pengamat membutuhkan legalitas menggunakan kekarasan atau paksaan dalam humanitarian intervention.

Martin Griffith dan Terry O’ Gallaghan dalam bukunya International Relations Key Concept mengatakan terdapat tiga kunci masalah dan argument yang solusinya. Pertama, walaupun betul bahwa humanitarian intervention mengurangi kehormatan terhadap negara yang berdaulat tetapi hubungannya tidak begitu mudah. Kata intervensi menunjukan aksi yang didesain untuk mempengaruhi urusan internal, dan tidak melakukan aneksasi atau pengambilan wilayah.[7] Aksi yang dilakukan Hitler terhadap Polandia bukanlah intervensi melainkan perang. Kerajaan-kerajaan Eropa yang menjajah wilayah-wilayah Asia dan Afrika bukan juga intervensi ataupun perang melainkan penaklukan wilayah.

Kedua, siapa yang berhak melakukan humanitarian intervention. Tidak ada pihak yang melakukan intervensi dan menjadikannya menjadi alasan yang utama. Sangat tidak mungkin jika urusan kemanusiaan menjadi prioritas utama dibandingkan kepentingan nasional.[8] Contohnya pada masa konflik Rwanda tahun 1994 di Afrika Tengah. Para negara-negara yang mempunyai kekuatan besar tidak merasakan pentingnya melakukan intervensi sebagai bentuk tanggung jawab atas rejim pemerintahan yang melakukan genosida terhadap masyarakatnya. Tetapi pada tahun 1999, Amerika Serikat dan NATO melakukan dan mengklaim sebagai aksi humanitarian intervention terhadap krisis yang dihadapi Kosovo.[9]

Terakhir, humanitarian intervention dimaksudkan untuk mengatasi yang pelanggaran HAM. Tetapi tidak ada definisi terkait humanitarian intervention yang secara kultur dinilai netral.[10] Pada abad 17, banyak penulis menanggap negara-negara Eropa seharusnya mempunyai pekerjaan untuk mengintervensi urusan internal negara lain untuk mengkahiri praktek-praktek pengorbanan manusia atau kanibalisme. Para umat kristiani menanggap bahwa menyelematkan jiwa dan melecehkan penyebaran agama kristen ialah hal yang pantas untuk melakukan humanitarian intervention. Sekarang pelanggaran-pelanggaran HAM yang dimaksud umumnya tidak memasukkan kematian secara lambat akibat kemiskinan, malnutrisi, ekonomi, dan politik.

Tahun 2001 bulan Desember ICISS membuat sebuah laporan yaitu Responsibility to Protect (RtoP). Laporan ini mendeskripsikan secara komprehensif dan sangat berhati-hati tentang pemikiran sampai saat ini. ICISS mencoba untuk mengalihkan fokus perdebatan jauh dari hak untuk mengintervensi ke perlindungan terhadap korban.[11] Laporan ini mengatakan pentingnya negara mempunyai tanggung jawab terhadap kejahatan-kejahatan kemanusiaan ke masyarakatnya sendiri.

RtoP mengandung tiga perangkat tanggung jawab yaitu to prevent, to react, to rebuild. To prevent ialah menghindari konflik yang mematikan dan juga tujuan fundamental dari PBB. Pencegahan ialah aspek yang penting dari RtoP. Telah diidentifikasi empat kunci aspek akar untuk pencegahan yaitu politik (pemerintahan yang bagus, HAM, membangun kepercayaan), ekonomi (kemiskinan, ketimpangan dan kesempatan ekonomi), hukum (aturan hukum dan akuntabilitas), dan militer (pelucutan senjata, integrasi kembali, dan reformasi sektoral).[12] Kunci dari pencegahan ini ialah bagaimana memaknai tanda-tanda akan terjadinya kejahatan kemanudiaan.

To react dan to rebuild, dua hal penting yang tentang terbatasnya aksi humanitarian intervention. Pertama kasus Kosovo dan lumpuhnya Dewan Keamanan PBB, kedua tidak adanya aksi yang dilakukan terhadap genosida di Rwanda. Dukungan Kofi Annan sebagai Sekertaris Jenderal terhadap RtoP membuat gagasan ini semakin melesat. Pada tahun 2005 diadakan World Summit, yaitu pertemuan terbesar antar kepala negara dan pemerintah.[13]  Dokumen hasil dari World Summit ini kemudian dibawah ke Sidang Umum PBB dan langsung diadaptasi menjadi resolusi. Sekertaris Jenderal membuat aturan-aturan tentang pengimplementasian RtoP dan mengadaptasi istilah Narrow but Deep.

Narrow but deep artinya sempit tetapi dalam. Yang dimaksudkan dengan sempit ialah secara eksklusif untuk menghindari terjadinya empat kejahatan besar yaitu genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan-kejahatan kemanusiaan dan juga perlindungan. Sedangkan dalam yang dimaksud ialah menggunakan seluruh instrument yang tersedia dalam sistem PBB, perjanjian regional, anggota negara, dan juga masyarakat sipil.

RtoP juga akan runtuh jika tidak dukung dengan tiga pilar ini. Pilar pertama tanggung jawab utama dari negara untuk melindungi masyarakatnya dari genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan kemanusiaan. Sekertaris Jenderal Kofi Annan menganggap pilar pertama ini sebagai bebatuan dasar RtoP. Pilar kedua tanggung jawab komunitas international untuk mengawal dan mendorong negara untuk menegakkan tanggung jawab untuk melindungi, dengan cara membantu mereka untuk mengatasi dasar terjadinya genosida dan kekejaman massal, dan membantu untuk membangun kapasitas agar tidak terjadinya kejahatan ini.[14]

Pilar ketiga ialah tanggung jawab komunitas international untuk mengambil keputusan yang tepat waktu dan menentukan aksi untuk melindungi populasi dari empat kejahatan melalui diplomasi, aksi kemanusiaan, dan hal-hal perdamaian lainnya.[15] Tiga pilar ini lah yang menjadi hal yang menopang agar aksi agar menghindari atau mengatasi terjadinya empat kejahatan besar yang dimaksud. Negara dan komunitas international mempunyai peran masing-masing dalam RtoP ini.

Pada tahun 2011, Dewan Keamanan PBB memandatkan NATO untuk melakukan kontribusi terhadap pemaksaan pergantian rejim pemerintahan yang sementara berjalan. Alhasil diberinya kewenangan terhadap NATO untuk menggunakan persenjataan malah menjatuhkan korban dari pihak sipil. Penggunaan persenjataan ini meningkatkan risiko yang di terima oleh pihak sipil dan mengacuhkan atau menolak kesempatan untuk melakukan dialog lebih lanjut.[16] RtoP merupakan paksaan dan penggunaan alat kekuatan.

 

Daftar Pustaka:

[1] Aidan Hehir, 2010. Humanitarian Intervention an Introduction. New York : Palgrave Macmillan. hal. 12-13

[2] Ibid

[3] J.L. Holzgrefe, Robert O. Keohane, 2003. Humanitarian Intervention: Ethical, Legal, and Political Dilemmas. Cambridge: Cambridge University Press. Hal. 18

[4] Aiden Hehir. Op. Cit.

[5] Ibid

[6] Martin Griffiths & Terry O’Gallaghan, 2002. International Relations: Key Concept. London:  Routledge. hal. 146

[7] Ibid.

[8] Ibid

[9] Ibid

[10] Ibid

[11] John Baylis, Steve Smith, & Patricia Owens. 2011. The Globalization of World Politics An

Introduction to International Relations. Oxford: Oxford University Press. hal. 486

[13] Ibid hal. 488

[14] ibid

[15] Ibid

[16] Ibid hal. 490