Privatisasi dalam Perspektif Neoliberalisme

[Peringatan! – Artikel ini hanya gambaran singkat dan pengantar untuk para pelajar atau peminat Ilmu Hubungan International. Tulisan ini membahas “Privatisasi dalam Perspektif Neoliberalisme” dalam ilmu hubungan international. Dilarang keras untuk mensalin artikel website ini untuk keperluan pribadi (tugas, dan lain-lain) tanpa sepengetahuan penulis. Jika ada hal yang kurang dimengerti atau ingin ditanyakan silahkan tinggalkan pesan di sini]

Barang-barang yang kita gunakan sehari-hari seperti jalanan, listrik, air, layanan kesehatan, layanan pendidikan, dan juga transportasi merupakan kebutuhan dasar masyarakat yang disediakan oleh pemerintah atau lebih sering disebut dengan Public goods. Public goods mempunyai karakteristik yaitu non-rivalrous dan non-excludable. Yang dimaksud dengan non-rivalrous ialah tidak ada persaingan dalam menggunakan barang tersebut dan non-excludable berarti tidak boleh ada diskriminasi terhadap warga (Taylor, 2012). Agar dapat dijangkau oleh seluruh pihak negaralah yang harus menyediakan barang-barang tersebut. Dalam konteks negara Indonesia, State-Owned Enterprise (SOE) ialah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sayangnya peran negara dalam menghadirkan Public Goods dalam tiga dekade terakhir mulai perlahan-lahan dilepas. Pelepasan perlahan-lahan dalam tanggung jawab menyediakan kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat merupakan bagian dari agenda neoliberalisme terkhususnya privatisasi. Dengan privatisasi, SOE dilepas dan dapat dikelola oleh swasta baik dalam negeri maupun luar negeri. Dengan diserahkannya kewajiban untuk mengadakan seluruh kebutuhan-kebutuhan dasar ke pihak swasta sudah sewajarnya public goods kemudian semakin mahal karena notabene pihak swasta memang mencari keuntungan.

David Harvey dalam bukunya Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis (terj.) mengatakan:

Neoliberalisme pada awalnya merupakan suatu teori ekonomi politik yang menyatakan bahwa kesejahteraan manusia paling bisa dicapai dengan cara meliberalisasikan kebebasan-kebebasan dan keterampilan-keterampilan enterprenuerurial individu dan menempatkan kebebasan dan keterampilan itu ke dalam suatu kerangka pranata yang dicirikan oleh hak milik pribadi yang kuat, pasar bebas, dan perdagangan bebas (Harvey, 2009)

Neoliberalisme sekarang telah menjadi ideologi pembangunan yang lebih ekstrem dari sebelumnya dan ditegakkan oleh institusi-institusi keuangan International.

Mansour Fakih dalam bukunya Bebas dari Neoliberalsime juga mengatakan:

Apa yang menjadi pendirian neoliberalisme sesungguhnya ditandai dengan karakter sebagai kebijakan pasar bebas yang mendorong perusahaan-perusahaan swasta dan pilihan konsumen berkembang, penghargaan atas tanggung jawab personal dan inisiatif kewiraswastaan, serta menyingkirkan birokrat dan parasit pemerintah yang tidak akan pernah mampu bekerja dengan efektif dan efisien meskipun di kembangkan (Fakih, Bebas dari Neoliberalisme, 2010).

Jelas pendapat dari Mansour Fakih ini ialah bagaimana melimpahkan tanggung jawab pemerintah ke pihak individu karena padangan pesimis terhadap pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah.

Sejalan dengan pendapat diatas, George Ritzer berpendapat peran pemerintah dalam prespektif neoliberalisme dalam bukunya Globalization The Essentials ialah:

Limited Government is that no government or government agency can do things as well as the market (the failure of the Soviet Union is seen as proof of that). Among other things, this leaves a government that is, at least theoretically, less able, or unable, to intervene in the market. It also presumably means a less expensive government, one that would need to collect less in taxes. This, in turn, would put more money in the hands of the public, especially the wealthier members of society who, in recent years, have benefited most from tax cuts (Ritzer, 2011).

Ritzer mengatakan bahwa dalam prespektif neoliberalisme peran pemerintah harus ditekan seminim mungkin karena pemerintah tidak bisa bekerja sebaik pasar dan individulah komponen yang terbaik dalam melakukan kegiatan perekonomian.

Kedudukan negara dalam kegiatan perekonomian ialah menciptakan dan melindungi eksistensi pranata yang dicirikan oleh hak milik pribadi yang kuat, perdagangan bebas, dan pasar bebas. Misalnya peran negara berupa menjamin nilai dan integrasi mata uang, membangun struktur dan fungsi militer pertahanan, kepolisian dan hukum yang dibutuhkan untuk melindungi hak-hak milik pribadi dan untuk menjamin agar pasar berjalan dengan semistisnya. Jika pasar tersebut belum tercipta maka negara harus menciptakan pasar tersebut, meskipun dengan aksi intervensi negara (Harvey, 2009). Begitulah peran negara dalam prespektif neoliberalisme, selain hal tersebut negara tidak boleh melakukan hal lain.

Untuk menyebarluaskan pemahaman ini, maka dibutuhkanlah institusi-institusi keuangan internasional yang berperan agar terjaminnya neoliberal ini. Disinilah peran-peran seperti IMF, World Bank (WB), dan World Trade Organisation dalam menyebarluaskan pemahaman neoliberalisme ke negara-negara yang menggunakan jasanya. IMF, World Bank, dan United States Treasury membuat menciptakan sebuah set aturan yang terbaik untuk mempromosikan pembangunan yaitu Washington Consensus (Stiglitz, 2007).  Nama dan konsep Washington Consensus ini pertama kali di perkenalkan oleh John Williamson seorang ekonom dari Institut untuk Ekonomi Interantional pada tahun 1989 dan 1990 (Darmaningtyas, Subkhan, & Panimbang, 2014).

Dalam Washington Consensus ada sepuluh anjuran yang disebut sebagai reformasi. Washington Consensuss inilah yang kemudian disebut sebagai kebijakan pasar bebas atau neoliberalisme. Kesepuluh ajaran tersebut ialah pertama, disiplin fiskal untuk memerangi kebijakan defisit anggaran. Kedua, anggaran pengeluaran untuk publik, kebijakan ini berupa memprioritaskan anggaran belanja pemerintah melalui pemotongan segala subsidi. Ketiga, pembaharuan pajak, yang berupa kelonggaran bagi para pengusaha untuk kemudahan pajak. Keempat, liberalisasi keuangan, yang berupa kebijakan bunga bank yang ditentukan oleh mekanisme pasar. Kelima nilai tukar uang yang kompptetif, berupa kebijakan untuk melepaskan nilai uang tanpa kontrol. Keenam, kebijakan untuk menyingkirkan segala bentuk hambatan yang dapat menganggu perdagangan bebas. Ketujuh, kebijakan untuk menyingkirkan segenap aturan pemerintah yang menghambat masuknya modal asing. Kedelapan, privatisasi, yakni kebijakan untuk memberikan semua pengelolaan perusahaan negara kepada pihak swasta. Kesembilan, deregulasi kompetisi. Dan yang terakhir ialah, intelectual property rights atau hak paten (Fakih, 2011).  Poin kedelapan dari konsensus ini sangat jelas menyangkut diserahkannya perusahaan-perusahaan negara ke pihak swasta.

Menindaklanjuti Washington Consensus, privatisasi juga didorong oleh Structural Adjusment Programs (SAP). Jim Glassman dan Padraig Carmody dalam tulisannya Structrural Adjusment in East and Southeast Asia Lessons from Latin America menjelaskan:

Structural adjustment is a policy package of “free market” economic reforms sponsored by the International Finansial Institutions. Initially structural adjustment programs (SAPs) were introduced to offset what were seen as temporary balance of payments problems in developing countries resulting from increased oil prices and interest rates in the late 1970s. However, with the debt crisis, which broke in 1982, structural adjustment programs became more widespread and long-lived than was initially anticipated (Glassman & Carmody, 2010).

SAP ini sendiri terbagi atas dua macam ekonomi makro dan masing-masing macam ini digunakan oleh IMF dan World Bank. Stablisasi berada dalam bidang IMF dan structural adjusment dimana untuk merekonstruksi ekonomi menuju orientasi ekspor berada di bawah bidang World Bank. Keduanya lebih dikenal dengan SAP (Glassman & Carmody, 2010).

Dijalankannya kebijakan privatisasi juga dapat berasalkan dari Letter of Intent (LoI) yang dikeluarkan oleh IMF. Sama halnya dengan SAP, LoI merupakan seperangkan kebijakan yang harus dilaksanakan oleh negara penerima.

Dengan demikian privatisasi ialah bagian yang tidak terpisah dari neoliberalisme, dimana peran pemerintah sedemikian mungkin harus disingkirkan. Peran pemerintah dalam sistem neoliberal haruslah sekecil mungkin dan yang bisa dilakukan hanyalah untuk mendukung kegiatan pasar bebas. Istilah deregulasi (menghilangkan peraturan untuk menjalankan bisnis), privatisasi (menjual perusahaan negara kepada pihak swasta), dan liberalisasi (menghilangkan batasan perdagangan dan hambatan arus modal) adalah bagian dari neoliberal itu sendiri. Sedangkan untuk memastikan berjalannya proses privatisasi ini terkhususnya negara-negara penerima dana dari IMF dan World Bank, digunakanlah SAP dan LoI.

Daftar Pustaka

Harvey, D. (2009). Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis (terj.). Yogyakarta: Ressist Book.

Fakih, D. M. (2010). Bebas dari Neoliberalisme. Yogyakarta: Inssist Press.

Ritzer, G. (2011). Globalization The Essentials. West Sussex: John Wiley & Sons.

Stiglitz, J. E. (2007). Making Globalization Work. London: Penguin Books.

Darmaningtyas, Subkhan, E., & Panimbang, F. (2014). Melawan Liberalisasi Pendidikan. Malang: Madani.

Fakih, D. M. (2011). Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Glassman, J., & Carmody, P. (2010). Structural Adjusment in East and Southeast Asia: Lesson from Latin America. In G. Ritzer, & Z. Atalay (Eds.), Readings in Globalization: Key Concepts and Major Debates (p. 120). West Sussex: Wiley-Blackwell.

Taylor, T. (2012). The Instant Economist. New York: Plume.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s