Balance of Power dalam Ilmu Hubungan International

[Peringatan! – Artikel ini hanya gambaran singkat dan pengantar untuk para pelajar atau peminat Ilmu Hubungan International. Tulisan ini membahas “Balance of Power” dalam ilmu hubungan international. Dilarang keras untuk mensalin artikel website ini untuk keperluan pribadi (tugas, dan lain-lain) tanpa sepengetahuan penulis. Jika ada hal yang kurang dimengerti atau ingin ditanyakan silahkan tinggalkan pesan di sini]

Dalam Ilmu Hubungan International tentunya sudah akrab dengan istilah Balance of Power atau perimbangan kekuatan. Konsep ini merupakan konsep yang sudah lumayan dan masih digunakan untuk melihat dinamika politik international sekarang ini. Dalam tulisan ini saya tidak bermaksud untuk memberikan sejarah singkat tentang Balance of Power tapi hanya menuliskan apa dan bagaimana Balance of Power itu sendiri. Persaingan antar kedua atau lebih negara atau aliansi tentu dapat dianalisis dengan konsep ini.

Balance of Power atau perimbangan kekuatan ialah gagasan yang sangat sering digunakan dalam membahas isu-isu hubungan international. Balance of Power menggambarkan bagaimana negara-negara saling berinteraksi dan saling mengimbangi dalam hal kekuataan. Balance of Power pertama kali di perkenalkan oleh Ernst Haas pada tulisannya The Balance of Power: Prescription, Concept, or Propaganda dalam jurnal World Politics.

Dalam jurnal tersebut  Ernst Haas menyebutkan bahwa Balance of Power mempunyai banyak artian, yaitu:[1]

  1. Balance dalam artian distribution of power Haas menyebutkan bahwa para negarawan ketika mengatakan “balance of power has shifted” yang dimaksud ialah lawan dari negaranya telah meningkatkan kekuatannya.
  2. Balance dalam artian equilibirium ialah formulasi antar kekuatan eksternal dan international antar negara yang bersaing atau aliansi negara yang setara
  3. Balance dalam artian hegemony, yan­­g mengatakan bahwa negara-negara bukanlah mencari kesimbangan tapi hegemoni. Tidak ada keamanan yang nyata selain negara kuat yang mempunyai potensi sebagai musuh. Yang dimaksud keamanan ialah ketika kekuatan negara lain lebih kecil.
  4. Balance dalam artian stability and peace, para pemikir dunia ideal tidak bermaksud mengartikan Balance of Power sebgai metode untuk menciptakan kondisi yang stabil dan damai, tetapi stabil dan damai itu sendiri lah Balance of Power
  5. Balance dalam artian instability and war, hal ini merupakan kontras dari sebelumnya. Balance of Power ialah perang, sedangkan damai identic dengan menyelesaikan seluruh isu yang ada dengan moral, ekonomi, dan ciri etnografi.
  6. Balance dalam artian power politics. Kekuasaan ialah kekuasaan murni dari politik atau yang disebut dengan Real Politic, dan Balance of Power telah bergabung menjadi satu konsep, konsep tentang negara yang bertahan dalam kompetitifnya dunia international akan permintaan menggunakan kekuasaan tanpa hambatan oleh pertimbangan moral.
  7. Balance dalam artian universal law of history. Apa yang dimaksud dengan Balance of Power ialah manifistasi insting primitif dari self defence yang menggabungkannya dengan seluruh urusan manusia, bangsa dan international.
  8. Balance dalam artian system and guide to policy making, ialah hanya equilibrium dalam kekuatan dalam ikatan anggota keluarga negara-negara yang akan membatasi mereka, ketika mereka menjadi kuat dan akan memaksakan kehendaknya ke pihak lain.

Menurut H.C. Palmer dan N. D. Perkins dalam bukunya International Relations, Balance of Power ialah:

the balance of power assumes that through shifting alliances and countervailing pressures no one power or combination of powers will be allowed to grow so strong as to threaten the security of the rest.[2]

Perimbangan kekuatan mengasumsikan bahwa perubahan aliansi dan tekanan yang menyimbangkan agar tidak ada satu kekuatan atau gabungan kekuatan yang dibiarkan berkembang semakin kuat hingga mengancam keamanan yang lainnya

Palmer dan Perkins meyakini bahwa besarnya kekuatan suatu negara menjadikannya sebagai ancaman untuk negara lain. Oleh karena itu akibat dari merasa terancam dari kekuatan dari negara tersebut, negara yang terancam kemudian membuat aliansi dengan negara lain untuk menyeimbangkan kekuatannya.

Sejalan dengan pendapat itu Inis L. Claude dalam bukunya Power and International Relations mengatakan bahwa Balance of Power ialah:

when any state or bloc becomes, or threatens to become, inordinately powerful, other states should recognise this as a threat to their security and respond by taking equivalent measures, individually and jointly, to enhance their power.[3]

ketika suatu negara atau blok menjadi ancaman atau tidak biasanya berkukatan, negara lain harus menyadarinya sebagai ancaman terhadap keamanannya dan menanggapinya dengan cara menyeratakan kekuatan baik secara individu maupun gabungan.

Dari kedua pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa Balance of Power ialah usaha suatu negara untuk mengimbangi kekuatan negara lain yang mengancam keamananya. Ancaman dapat berasal dari suatu negara atau blok kekuatan yang terdiri dari gabungan-gabungan negara. Ketika terdapat negara yang telah membangun kekuatan baik secara sendiri maupun dengan membangun blok atau aliansi, maka hal tersebut akan menjadi ancaman keamanan bagi negara-negara lain. Negara yang terancam inilah kemudian akan membangun kekuatan untuk menjaga keamanan negaranya kemudian. Untuk menyimbangi kekuatan yang membuat terasa terancam maka negara terancam kemudian akan membangun kekuatannya sendiri atau bergabung dengan suatu blok demi menghilangkan ancaman atau mengamankan diri sendiri.

Keadaan Balance of Power yang nyata ialah ketika terdapat dua atau lebih negara dan adanya negara yang lebih lemah. Sejarah mencatat bahwa kondisi Balance of Power yang terjadi dalam catatan sejarah kuno yang paling lampau ialah Perang Peloponnesian. Dimana masa Yunani Kuno terdapat kondisi Bipolarity yaitu dua kutub kekuatan besar yakni Athena dan Sparta. Keduanya merupakan kekuatan besar dibandingkan kota-kota lain yang berada dalam daerah Yunani. Negara-negara yang lain bekerja sama dengan Athena atau Sparta untuk mendapatkan perlindungan dari kekuatan salah satunya.

Kemudian Yunani memutuskan untuk membangun suatu aliansi bersama yaitu Liga Hellenic dan memberikan kewenangan terhadap Athena dan Sparta sebagai pemimpin liga tersebut. Liga Hellenic ini kemudian dibentuk pada tahun 492-477 SM untuk menandingi serangan dari Persia. Setelah Yunani berhasil mengusir serangan Persia, terdapat konflik kecil dalam tubuh liga tersebut. Athena mengekspansi wilayahnya sehingga mengambil wilayah kota kecil. Karena merasa terancam kota-kota kecil ini kemudian bergabung dengan Sparta untuk melindungi keamanan wilayah mereka. Akhirnya Sparta dan kota-kota kecil yang merasa terancam oleh sifat ekspansif Athena membuat suatu aliansi yaitu Liga Peloponnesia. Athena pun membangun aliansi untuk melakukan ekspansi. Akhirnya dua aliansi yang didalamnya terdapat Athena dan Sparta kemudian saling bertempur.[4]

Balance of Power mempunyai tipe-tipe yaitu unipolarity, bipolarity, dan multipolarity. Unipolarity ialah kondisi dimana hanya satu negara yang mempunyai kekuatan besar dibandingkan dengan kekuatan lain. Para penliti percaya bahwa Amerika Serikat adalah negara superpower dan tidak ada yang dapat menyainginya. Oleh karena itu kondisi kekuatan dunia sekarang terpusatkan oleh satu negara saja.[5]

Bipolarity adalah kondisi dimana terjadi pemusatan kekuatan di dua negara atau dua blok (aliansi). Kondisi terjadi ketika masa Perang Dunia II dimana Amerika Serikat dan Uni Soviet diyakini berada pada puncak kekuatan dibandingkan negara-negara lainnya. Walaupun beberapa peniliti tetap tidak sepakat jika Uni Soviet dapat disetarakan dengan Amerika Serikat karena jika diliat dari perekonomiannya Uni Soviet sangat jauh perbedaan kekayaannya dengan Amerika Serikat. Tetapi Uni Soviet dapat memicu terjadinya Arms Race dan juga membangun aliansi-aliansi untuk saling mengimbangi.[6]

Multipolarity adalah kondisi setidaknya terdapat tiga negara atau blok (aliansi) yang mempunyai kekuatan yang sangat besar. Hal ini terjadi pada abad 19 dimana beberapa kerajaan atau negara saling beraliansi satu sama yang lain untuk melawan kerajaan atau kekaisaran yang lebih besar.[7]

T. V. Paul, dalam artikelnya Introduction: The Enduring Axioms of Balance of Power Theory and Their Contemporary Relevance mengatakan bahwa

The ultimate purpose of any balancing strategy is to reduce or match the capabilities of a powerful state or a threatening actor, the various means that states adopt, besides increasing their military strength or forming alliances.[8]

Tujuan utama dari segala strategi penyimbangan ialah untuk mengurangi kapabilitas pertarungan dari negara yang sangat kuat atau aktor yang mengancam, berbagai arti yang lain ialah negara mengadaptasi selain meningkatkan kemampuan militer atau membuat aliansi.

Ada juga beberapa strategi dari Balance of Power menurut T.V. Paul yang dapat dilhat dari bagaimana balance itu kemudian terbentuk. Hal tersebut dapat dibentuk dengan Hard Balancing, Soft Balancing, dan Asymmetric Balancing.[9] Hard Balancing ialah strategi yang dilakukan oleh suatu negara yang berada dalam kondisi persaingan yang intens bersama negara lain. Negara yang bersaing ini kemudian akan meningkatkan kemampuan militernya dan juga membuat aliansi yang formal untuk menyimbangi lawannya.[10]

Soft Balancing ialah pembangunan aliansi secara diam-diam. Pembangunan aliansi secara diam-diam ini terjadi akibat suatu negara secara umum membangun perjanjian atau kesepahaman militer terbatas kepada negara lain untuk mengantisipasi potensi terjadinya negara yang mengancam atau negara yang sedang meningkatkan kekuatannya. Soft balancing biasanya berdasarkan peningkatan persenjataan terbatas, latihan gabungan sementara, atau berkolaborasi dalam institusi regional atau global. Soft balancing  ini dapat berubah menjadi hard balancing ketika terjadi persaingan yang lebih intens dan negara yang mempunyai power lebih memulai jadi ancaman.[11]

Asymmetric Balancing ialah usaha negara untuk menyimbangkan atau memberikan ancaman tidak langsung oleh sub-negara, seperti kelompok teroris yang tidak mempunyai kemampuan untuk menantang angkatan perang suatu negara secara kapabilitas ataupun strategi. Asymmetric balancing juga dikatakan sebagai sisi balik koin yaitu usaha yang dilakukan oleh sub-negara dan yang mereka sponsori untuk menantang dan melemahkan negara yang mapan.

Daftar Pustaka:

[1] Ernst B. Haas, 1953. “The Balance of Power”. World Politics Vol. 5 No. 4. Cambridge: Cambridge University Press. Hal. 447-455

[2] Michael Sheehan, 1996. The Balance of Power. London: Routledge. Hal. 3

[3] Ibid.

[4] Robert Jackdon & George Sorensen, 2014. Pengantar Studi Hubungan International. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 116

[5] Martin Griffith & Terry O’ Gallaghan Op Cit. 13-14

[6] Ibid

[7] Ibid

[8] T.V. Paul, James J. Writz, and Michael Fortman, 2004. Balance of Power Theory and Practice in 21th Century. Stanford: Stanford University Press. Hal. 2-3

[9] Ibid. hal. 3

[10] Ibid.

[11] Ibid.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s